Selasa, 30 Agustus 2011

album “Maukah Kau Menungguku ?????” edisi 2.
“Maukah Kau Menungguku ?????” edisi 2


Bismillaahirrahmaanirrahiim...

...Rasa yang timbul sebelum adanya pernikahan dapat menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Rasa yang mekar sebelum waktunya akan menimbulkan permasalahan yang sangat pelik ketika ternyata bukan ia yang ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidup kita nantinya. Dalam kasus seperti ini, secara tidak langsung kita (kita? maksudnya yang merasa) telah mendzalimi pasangan kita nantinya. Hal ini disebabkan hati kita datang padanya dalam keadaan tidak perawan, tetapi telah pernah dimiliki orang lain. Apakah kita mau hati pasangan kita telah pernah terikat erat di hati orang lain?


Ana rasa hampir semua orang akan menjawab tidak. (tidak nolak? ya tidak maulah..)



Yakinlah! Kalau memang ia yang dijodohkan untuk kita (kita? ya.. masing-masing dari kita), maka ia tidak akan kemana-mana. Selain itu, belum tentu ia merupakan orang terbaik yang akan dikirim Allah untuk kita. Mungkin saja akan datang pangeran berkuda putih atau bidadari kayangan yang jauh lebih baik di kemudian hari ketika kita sudah siap untuk menikah.

Tugas kita adalah mempersiapkan diri agar pantas untuk mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik nantinya, dia atau yang lain. Karena “Laki-laki baik-baik hanya untuk wanita baik-baik dan wanita baik-baik hanya untuk laki-laki baik baik” (An-Nur:26).



Islam telah mengatur hubungan wanita dan laki-laki dalam sebuah pernikahan. Hubungan khusus ikhwan akhwat bukan mahram sebelum terjadinya pernikahan apapun namanya merupakan hal yang diharamkan dalam Islam. Karena hal ini akan cenderung membawa pelakunya pada kemaksiatan kepada Allah. Hubungan yang dilakukan tersebut walau tidak diikrarkan tidak akan berbeda jauh dengan bentuk pacaran, HTS, HTI, TTM atau apapun juga namanya,


jikalau komunikasi yang dilakukan didasarkan atas dasar rasa cinta satu sama lain. Untuk itu sudah seharus dan sebaiknya untuk membatasi hubungan dengan lawan jenis bila tidak ada hajat. Seandainya rasa itu telah ada, sebaiknya untuk sementara jangan berhubungan dengannya sampai waktu menikah telah tiba diluar kepentingan dan keperluan mendesak.




“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)



Islam tidak melarang terlebih lagi mengharamkan CINTA, namun cinta yang bagaimana?

Rasa cinta kepada orang lain adalah sesuatu yang fitrah dimiliki oleh seorang manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya yang mulia. Begitu juga sebaliknya, ingin dicintai, ingin diperhatikan, ingin disayangi oleh orang lain, semua adalah suatu fitrah yang merupakan wujud dari gharizah an-na’u.



Gharizah atau naluri, merupakan ”sesuatu” yang diciptakan Allah dengan sangat unik. Ia adalah sebuah fitrah atau kebutuhan primer bagi manusia. Layaknya makanan kita sehari-hari. Namun ia berbeda dengan makanan, dimana jika kita tidak memenuhinya kita akan mati.



Na’am, tidak terpenuhinya gharizah atau naluri tidak akan membuat kita mati, ia hanya akan membuat manusia tersiksa ataupun tidak terpuaskan secara batin. Gelisah, tidak tentram, merasa ada yang kurang dalam hidup, itu adalah sebagian dari dampak tidak terpenuhinya naluri manusia. Bahkan pengekangan terhadap naluri, dapat membuat manusia melakukan ”penyimpangan”, agar ia tetap bisa memenuhinya.



Naluri bertuhan (gharizah tadayyun) misalnya, secara fitrah manusia pasti memerlukan ”sesuatu” yang ia puja, ia agungkan, yang ia anggap lebih hebat, ia anggap sempurna, mampu melindungi dan menolongnya dikala terjepit. ”Sesuatu” tempat manusia bergantung padanya karena merasa dirinya adalah makhluk lemah dan terbatas. Untuk itulah manusia menyembah Tuhan.


Untuk itulah manusia beragama. Komunis sekalipun yang notabane menolak keberadaan Tuhan, melakukan ”penyimpangan” dengan memuja tokohnya yang diibaratkan seperti dewa.



Begitu pula dengan gharizah an-na’u (naluri melestarikan jenis), dimana menjadi fitrah bagi manusia untuk tertarik pada lawan jenis, menyalurkan keinginan seksualnya, dan sejenisnya. Pengekangan terhadap naluri ini akan ”memaksa” manusia untuk melakukan penyimpangan.

Dengan demikian menjadi hal yang wajar jika tidak terpenuhinya naluri, akan membuat manusia melakukan penyimpangan. Sebab, naluri adalah fitrah bagi manusia. Dan manusia akan cenderung menyesuaikan diri dengan fitrahnya. Na’am, aturan dalam Islamlah yang sesuai seiring sejalan dengan fitrah manusia.



Tertarik pada lawan jenis (baca: jatuh cinta) adalah hal yang wajar terjadi pada manusia. Sebab

ia adalah bagian dari gharizah an-na’u. Ia bisa ”menular” pada laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, orang miskin maupun orang kaya, siapapun berpotensi terjangkit ”wabah” ini. Banyak sekali tanda-tanda atau gejala yang menunjukkan seseorang telah dinyatakan positif terkena wabah ini. Sering melamun, mendadak puitis atau romantis, bahkan hingga penampilan dan berkelakuan berbeda dari biasanya.



Jatuh cinta adalah wajar. Ia memang sesuatu yang abstrak dan sulit didefinisikan. Tapi siapapun yang telah merasakannya, entah kenapa ia akan menjadi seorang pujangga yang mampu menafsirkannya begitu mudahnya. Jatuh cinta juga tidak mengenal waktu dan keadaan. Ia bisa datang kapan saja,


dimana saja bahkan dalam kondisi apapun. Love is like wind, we can’t see it but we can feel it. (yah, Ana bukan pujangga, jadi kata-kata ini pun diambil dari sumber lain)



Na’am, jatuh cinta atau tertarik pada lawan jenis adalah sesuatu yang tak bisa ditolak. Sehingga sangat tidak masuk akal dan tidak logis jika sesuatu yang fitrah ini dilarang hadir pada diri manusia.



Islam adalah agama yang sempurna. Islam sangat memahami hal ini. Bahwa cinta dan kasih sayang adalah sesuatu yang fitrah ada pada diri manusia yang merupakan karunia dari Allah:


”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ruum : 21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar