Selasa, 30 Agustus 2011

“Maukah Kau Menungguku ?????” edisi 1.
“Maukah Kau Menungguku ?????” edisi 1

oleh : Ghuroba' Fii Akhiriz Zamaan

BISMILLAH...IRRAHMANIRRAHIIM

Terdengar bunyi sms dari sebuah HP, isinya:

“Maukah kau menungguku ukhti???

Insya Allah satu tahun lagi Ana akan datang ke rumahmu untuk mengkhitbahmu”

Jantung Sang Ukhti seperti berhenti berdetak, darah berhenti mengalir, nafasnya naik turun (kaget apa bengek?). Mimpi apa semalam pikirnya sampai dapat sms seperti itu.



Kawan pernahkah kau mengalami hal itu??? (tentu tak harus mengalaminya tapi cukup ambil ibroh darinya)



Sebagai seorang ikhwan, Sang Akhi yang tak ingin kehilangan Sang Ukhti, sedangkan Sang Akhi mengetahui jika pacaran itu tak ada dalam Islam. Tapi begitu takutnya dia kehilangan Sang Ukhti. sehingga dia memberanikan diri untuk menanyakan itu. (wait.. what happen aya naon? Akhi Ukhti, kalian tahu syari’at..!)

Atau sebagai Sang Ukhti yang begitu kaget mendapat sms seperti itu. Tak tahu apa yang harus dilakukan, karena selama ini Sang Akhi terlihat biasa saja.

Tentu akan mudah saja menolak permintaan Sang Akhi jika Sang Ukhti ternyata tidak menyukai Sang Akhi. Tapi bagaimana jika ternyata Sang Ukhti juga menyukai Sang Akhi?

Tentu saja ini bisa menjadi dilema untuk Sang Ukhti, menunggu Sang Akhi yang memang juga dia sukai, atau menolaknya karena dia merasa ini tidak dibenarkan oleh Islam.

Sepertinya fenomena seperti ini mungkin-mungkin saja terjadi dikalangan para aktifis dakwah terlebih lagi yang bukan. Sudah ada keinginan untuk menikah tapi apa daya persiapan pun belum ada, belum mempunyai pekerjaan tetap atau masih terbentur dengan kuliah yang belum selesai.

Jika kita berbicara masalah pacaran, rata-rata semua orang sepakat dan mafhum kalau itu tidaklah ada dalam Islam, kecuali sama suami/istri sendiri. (Ya iyalah..)

Tapi bagaimana dengan mengikat janji untuk menikah???



Kawan, tahukah kau????

Ternyata yang seperti ini tak ada dalam Islam. Kenapa???

Karena jodoh itu adalah kuasa-Nya, Allah. Tak dibenarkan seseorang mengikat janji untuk menikah, jika belum mempunyai persiapan yang matang. Beda lagi kalau masalah khitbah.

Memang dibolehkan untuk mengutamakan diri sendiri tentang masalah jodoh dan jodoh itu bisa membuat kita semakin dekat dengan Allah seperti dalam novel Ketika Cinta Bertasbih hal. 349 karangan Habiburrahman el Shirazy, biar ngga jenuh penulis baca novel juga. Berikut kutipan perbincangan antara Anna dan Cut Mala.

“Maaf Kak saya mau tanya. Kalau misalnya. sekali lagi ini misalnya lho kak. Misalnya ada seorang gadis Muslimah, dilamar oleh seorang pemuda yang sangat baik. Baik agamanya, akhlaknya, prestasinya, juga wajahnya. Lalu ia mengalah, mengutamakan saudarinya yang menurutnya lebih baik darinya dan lebih pantas menikah dengan pemuda Muslim tadi. Apa ini termasuk makruh Kak?”

“Menurutmu menikah itu ibadah nggak Dik?” Tanya Anna

“Ibadah Kak. Bukankah menikah itu menyempurnakan separuh agama?”

“Jadi jelas kan jawabannya. Aku pribadi kalau menemukan pemuda yang baik, yang menurutku sungguh baik dan ada yang menjodohkan aku dengannya ya aku akan mengutamakan diriku dulu. Tidak akan aku tawarkan pada akhwat lain. Menikah kan ibadah.


Cepat-cepat menikah kan juga bagian dari berlomba-lomba dalam kebaikan. Kalau aku itsar, mengutamakan akhwat lain, berarti aku akan kalah cepat. Akhwat itu akan menikah duluan, dapat jodoh duluan dan aku belum. Jadi tertunda. Dan, tambah lagi belum tentu aku akan dapat jodoh yang lebih baik dari itu. Meskipun jodoh ada yang mengaturnya yaitu Allah. Tapi kita kan harus ikhtiar. Di antaranya bentuk ikhtiar, ya, ketika menemukan yang baik tidak usah mengutamakan orang lain.”



Memang boleh, tidak mengutamakan orang lain. Tapi juga jangan karena takut tidak menikah dengannya lalu mengikat janji dengan dia, Sang pujaan hati.



Tahukah kawan????

Setiap orang mempunyai hati, hati tersebut akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya, Sang Pencipta, Allah.

Bisakah kita menjaga hati kita jika ternyata kita memikirkan seseorang yang belum halal untuk untuk kita?





Saudaraku ikhwan wa akhwat Fillah, sudah menjadi fitrah bagi manusia bahwa kita akan menyukai atau cenderung pada lawan jenis. Hal ini sudah jelas diterangkan oleh Allah dalam surah Ar Rum ayat 21 dan Ali Imron ayat 14. Namun perasaan tersebut tidak akan muncul jika tidak ada sebab yang mengakibatkan perasaan ini muncul ke permukaan.



Komunikasi yang intens akan cenderung menimbulkan rasa simpati pada kedua orang yang melakukannya. Rasa simpati dan kenyamanan inilah yang harus dihindari karena ia pertanda telah adanya “rasa nano-nano” yang belum saatnya hadir. Dari itu jelaslah kalau hubungan dan komunikasi yang terjalin di antara ikhwan akhwat non mahram memiliki potensi besar untuk menumbuhkan benih-benih simpati yang menjurus pada rasa “cintrong” sebelum waktunya.



Rasa simpati akan merangsang timbulnya rasa suka dan rasa suka akan merangsang timbulnya kenyamanan dan kenyamanan akan menjadi indikasi telah terkena “panah iblis” yang biasanya kita kenal dengan nama “cinta”. Cinta sebelum ia dihalalkan. Boleh saja kita mencintai seseorang kalau ia sudah halal (sudah menikah), karena cinta adalah fitrah. Namun, cinta pada orang yang belum berhak dicintai merupakan malapetaka yang harus dihindari dan harus dikikis kalau benihnya sudah mulai tumbuh. Kenapa dikatakan malapetaka, karena pada dasarnya rasa cinta ini merupakan manipulasi dari bisikan iblis yang cenderung akan membawa pelakunya kepada jurang kehancuran, membawa pelakunya untuk bermaksiat dan mencederai cintanya pada Allah.



Kalau memang tujuannya adalah untuk mencari pasangan itu sah-sah saja, namun kalau belum siap dan meminta untuk menunggu? Terlebih lagi jika dalam rentan waktu yang cukup lama, hal ini harus dihindari. Mungkin saja salah satu pihak berubah pikiran karena godaan atau halangan dari lingkungan. Misalnya, keluarga salah satu pihak berubah pikiran untuk melanjutkan pernikahan atau salah satu pihak ‘kepincut’ dengan orang lain. Berubah pikiran sehingga salah satu pihak tertentu akan menyakitkan bagi pihak lain.



Lalu hubungan baik akan berubah menjadi hubungan yang tidak harmonis, bahkan kebencian. Mungkin saja hubungan komunikasi seperlunya lama kelaman berubah menjadi komunikasi yang tidak perlu (misalnya : omongan yang berlebih-lebihan untuk menanyakan kabar masing-masing, sms/telpon yang bernada kangen atau merayu, dll). Hati masing-masing menjadi sensitif dan sentimentil. Bayangan romantisme menjadi terlalu jauh, sehingga ujung-ujungnya terjadi perzinahan. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah. Bisa juga terjadi, akibat menunggu terlalu lama untuk menikah, maka kesungguhan hati dari kedua belah pihak menjadi lemah. Dan akhirnya salah satu pihak ingin menunda lagi dengan berbagai alasan.


Mungkin dengan alasan yang berbeda, sehingga akhirnya menjadi kebiasaaan untuk menunda berulang-ulang. Padahal sejatinya tidak ada orang yang siap 100% untuk menikah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar