Masuklah Islam Secara Kaffah
7 Februari 2010
Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (TQS al-Baqarah [2]:
208-209).
Tatkala seseorang mendeklarasikan diri
sebagai seorang Muslim, wajib baginya masuk Islam secara totalitas.
Islam harus diterima secara utuh. Tidak boleh ada bagian yang
tinggalkan, diabai-kan, bahkan ditolak. Sebagaimana halnya tidak boleh
memasukkan ide atau ajaran lain ke dalam Islam. Ketentuan tersebut
termaktub dalam ayat di atas. Dalam ayat tersebut, kaum Muk-min
diperintahkan masuk ke dalam Islam secara kâffah sekaligus tidak
mengikuti langkah-langkah syetan.
Pengertian al-Silm
Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ
al-ladzîna âmanû [u]d-khulû fî al-silm kâffah (hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya). Khithâb
atau seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin. Mereka
diperintahkan untuk masuk ke dalam al-silmi secara kâffah.
Ibnu Jarir al-Thabari mengutip pendapat
banyak mufassir terkemuka, seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah,
al-Sudi, Ibnu Zaid, dan al-Dhahhak yang memaknai al-silm dengan
al-Islâm. Pendapat ini juga dikuatkan oleh al-Thabari dan
al-Samarqandi. Dengan demikian, ayat ini dapat dimaknai sebagai
perintah agar memasuki Islam secara kâffah.
Sebagaimana dikutip al-Thabari, ada yang memaknai kata al-silm di sini
dengan al-musâlamah, yakni perdamaian, perundingan, meninggalkan
perang, dan memberikan jizyah. Itu artinya, kaum Muslim diperintahkan
mengadakan perdamaian secara total. Akan tetapi, pendapat tersebut
lemah.
Alasannya, sekalipun kata al-silmi juga
bisa diartikan al-musâlamah, namun pengertian tersebut bertentangan
dengan ayat-ayat muhkamat atau dalil lain yang lebih jelas maknanya.
Jika dimaknai sebagai perdamaian secara total, berarti tidak ada lagi
perintah perang terhadap kaum kafir. Dalam menghadapi mereka, kaum
Muslim hanya diperintahkan melakukan perundingan dan perdamaian.
Pengertian tersebut jelas bertentangan
dengan banyak ayat dan hadits yang mewajibkan perang melawan kaum
kafir. Dalam QS al-Baqarah [2]: 216 disebutkan secara tegas: Kutiba
‘alaykum al-qitâl (diwajibkan atas kalian perang). Kewajiban tersebut
makin dikukuhkan dengan adanya perintah kepada kaum Muslim untuk
berangkat perang, baik dalam keadaan ringan maupun berat (QS al-Taubah
[9]: 41). Bagi yang tidak mau berangkat, diancam dengan azab yang pedih
(QS al-Taubah [9]: 39). Bahkan, perang yang diwajibkan itu bukan hanya
ketika kaum Muslim diserang musuh (lihat QS al-Baqarah [2]: 190); namun
juga bersifat ofensif, menyerang kaum kafir terlebih dahulu. Kaum
Muslim diperintahkan memerangi kaum kafir hingga mereka bersedia
membayar jizyah dan tunduk terhadap hukum Islam (lihat QS al-Taubah
[9]: 29). Itu berarti, selama masih ada orang kafir yang tidak mau
tunduk menjadi kafir dzimmi dan membayar jizyah, kewajiban memerangi
mereka belum gugur. Perang tersebut terus dilakukan hingga tidak ada
fitnah dan ketaatan hanya untuk Allah semata (lihat QS al-Baqarah [2]:
193). Semua dalil itu menunjuk-kan secara pasti wajibnya ber-perang fî
sabîlil-Lâh.
Bertolak dari fakta tersebut, kata
al-silm tidak bisa dimaknai al-musâlamah (perdamaian). Rasulullah SAW
memang pernah melakukan perjanjian damai dengan kaum kafir. Akan
tetapi, semua perjanjian dibatasi dengan waktu tertentu. Ketika masa
perjanjian sudah habis, perang kembali diperintahkan. Ini makin
mengokokan bahwa tidak ada perdamaian total dengan kaum kafir. Karena
tidak bisa dimaknai al-musâlamah, maka kata al-silm tidak bisa dimaknai
lain kecuali Islam.
Sedangkan makna kâffah menurut banyak
mufassir sebagaimana dikutip Ibnu Katsir– adalah jamî’a[n] (semuanya,
keseluruhan). Sehingga, ayat ini bermakna: Allah SWT memerintahkan
hamba-Nya yang Mukmin, yang membenarkan rasul-Nya, untuk mengambil
semua aspek Islam dan syariahnya, mengamalkan semua perintah-Nya, dan
meninggalkan semua larangan-Nya, selama mereka mampu mengerjakannya.
Demikian Ibnu Katsir dalam Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm. Tidak jauh
berbeda, Fakhruddin al-Razi juga menjelaskan pengertian ayat ini:
“Masukkah ke dalam seluruh sya-riah Islam, baik secara keyakinan maupun
secara amalan.”
Pengertian tersebut makin jelas jika
dikaitkan dengan sabab al-nuzûl (sebab turunnya) ayat ini. Dikemukakan
oleh ‘Ikrimah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang
Mus-lim yang sebelumnya beragama Yahudi, seperti Abdullah bin Salam,
Tsa’labah, Asad bin ‘Ubaid, dll, yang meminta izin kepada Rasulullah
SAW untuk merayakan hari Sabtu dan mengamalkan Taurat di malam hari.
Kemudian turunlah ayat ini yang memerintahkan mereka untuk mengamalkan
syiar-syiar Islam dan meninggalkan selainnya. Namun Ibnu Katsir
memberikan catatan, penyebutan Abdullah bin Salam perlu dicermati
mengingat kesempurnaan imannya sehingga amat jauh jika dia menginginkan
hal itu.
Jangan Ikuti Langkah Syetan
Setelah
mereka diperintahkan masuk Islam secara keseluruhan, kemudian Allah SWT
berfirman: walâ tattabi’û khuthuwât al-syaythân (dan janganlah kamu
turut langkah-langkah syaitan). Syetan adalah makhluk Allah SWT yang
durhaka. Oleh karena itu, semua langkahnya mengundang murka Allah SWT.
Jika Allah SWT memerintahkan manusia kepada kebaikan, syetan justru
menyuruh berbuat dan keji (lihat al-Baqarah [2]: 169). Jika Allah SWT
memerintahkan manusia mengucap-kan perkataan yang lebih baik, syetan
justru menimbulkan perselisihan di antara manusia (lihat QS al-Isra’
[17]: 53). Minum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi
nasib dengan panah juga disebut sebagai perbuatan syetan. De-ngan khamr
dan judi itu pula syetan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
manusia (lihat QS al-Maidah [5]: 90-91). Agar tujuannya berhasil,
syetan menghiasi perbuatan buruk sehingga terlihat baik oleh pelakunya
(lihat QS al-Taubah [9]: 37, al-Ra’d [13]: 33). Pendek kata, semua
perbuatan tercela yang dibenci dan dimurkai Allah terkumpul pada diri
syetan.
Dalam ayat ini, manusia dingatkan agar
tidak mengikuti langkah-langkah syetan. Al-Syaukani mengatakan, frasa
ini berarti: “Janganlah kalian menempuh jalan yang diserukan oleh
syetan.” Sedangkan al-Samar-qandi, menafsirkan mengikuti langkah syetan
berarti taat kepada syetan.
Kemudian Allah SWT memberikan alasan
larangan tersebut dengan firman-Nya: Innahu la-kum ‘aduww mubîn
(sesung-guhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu). Sebagai musuh,
syetan tidak suka melihat manusia bahagia. Sebaliknya, dia sangat
senang jika manusia sengsara dan menderita. Syetan tahu benar,
kesengsaraan dan penderitaan tiada tara adalah masuk neraka. Oleh
karena itu, syetan melakukan berbagai cara dan upaya untuk menyesatkan
manusia dari jalan yang benar dan menjerumuskannya ke neraka. Allah SWT
berfirman: Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat
dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui
(TQS al-Baqarah [2]: 169).
Oleh karena menjadi musuh apalagi musuh
yang benar-benar nyata, maka syetan harus diperlakukan sebagaimana
layaknya musuh, bukan sebagai kawan, sahabat, pemimpin, atau pelindung.
Allah SWT berfirman: Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka
anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya
mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang
menyala-nyala (TQS Fathir [35]: 6). Agar memperoleh kebahagiaan hakiki,
manusia tidak mengikuti jalan syetan. Islam adalah satu-satunya jalan
yang boleh diikuti.
Telah maklum, bahwa syariah Islam
mencakup seluruh aspek kehidupan. Tak hanya mengatur urusan individu,
seperti ibadah, makanan, pakaian, atau akhlak. Namun juga mengatur
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti sistem ekonomi,
pemerintahan, pendidikan, sanksi, politik luar negeri, dan lain-lain.
Semua wajib diamalkan tanpa terkecuali. Nyatalah bahwa jika kita
menghendaki masuk Islam secara kâffah, maka keberadaan Daulah Khilafah
menjadi niscaya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar