Minggu, 31 Juli 2011

SURAT CINTA……


Filed under islam itu indah
Oleh Ust. Abu Umar Basyir
Ibnul Qayyim berkata,”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”
Cinta sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya.
Cinta Asmara
Persoalannya, bagaimana bila rasa cinta itu muncul jauh-jauh sehari sebelum terbesit rencana pernikahan? Seorang pemudi yang jatuh cinta terhadap gadis tetangganya? Atau seorang pelajar atau siswa yang tertarik dan menaruh hati pada teman sekolahnya?
Bila ketertarikan itu muncul secara wajar, bukanlah persoalan. Yang menjadi persoalan, sekali lagi, bila cinta itu dilampiaskan dengan cara yang haram. Satu-satunya cara yang halal untuk melampiaskan cinta tersebut hanyalah menikah. Kalau belum mampu menikah, tidak ada satu carapun yang bisa menyelesaikan kasus penyakit cinta tersebut. Ia jusru harus memeranginya, bukan karena haramnya cinta kasih, namun karena haramnya cinta itu dilampiaskan dil luar syari’at. Sebagai analoginya, mungkin bisa kita cermati makanan dan minuman. Betapa lezatnya suatu makanan, dan betapa laparpun kita, meski makanan itu halal, namun saat kita sedang berpuasa terutama puasa wajib di bulan ramadhan, kita harus menahan diri dan gejolak hawa nafsu dalam jiwa kita, hingga tiba saatnya berbuka. Kalau khawatir kesegaran makanan tersebut berkurang, berikan saja kepada orang yang sedang tidk berpuasa. Artinya, bila tiba saat berbuka dan Allah menakdirkan kita tetap bisa menyantap makanan itu, alhamdulillah. Namun bila tidak, ya tidak apa-apa.
Bila rasa cinta itu masih menggeliat di hati seseorang, sementara ia belum mampu menikahinya, maka rasa cinta itutidk boleh dipupuk. Karena melampiaskan cinta kasih dengan mengobrol, berbual-bual, saling melihat dan bepergian bersama-sama adalah haram. Dan sebenarnya inta seperti itu lebih layak disebut nafsu asmara, bukan cinta sejati. Balutannya adalah nafsu bukan iman. Karena orang yang ingin menyantap makanan yang bukan miliknya, atau yang haram hukumnya jika dimakan, atau menggauli wanita yang bukan istrinya, mencabut tanaman yang bukan kepunyaannya, berarti telak memiliki nafsu untuk berbuat kedzaliman, berbuat haram, dan melakukan pelanggaran terhadap aturan Allah. Coba simak hadist Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam,”Janganlah melihat lawan jenis lebih dari satu kali. Karena melihat yang pertama (tanpa sengaja) adalah mubah, tapi yang kedua sudah haram.” Juga sabda beliau kepada Ali, ”Palingkanlah pandanganmu dari wanita itu.”
Maka, jelas seorang muslim atau muslimah dilarang saling melihat lawan jenisnya untuk mengobrol berlama-lama, apalagi, bila dihati mereka sudah tertanam rasa saling menyukai, yang menyebabkan pandangan bukan hanya berualng dua kali, tapi puluhan bahkan ratusan kali. Nah, berapa banyak dosa yang dia tumpuk selama mengobrol dengannya?
Nafsu asmara seperti itu disebut panah iblis. Cara mengatasinya adalah dengan banyak berdzikir dan beribadah, serta upayakan menjauhi pergaulan dengannya dan dengan teman-teman dekatnya, agar seorang muslim atau muslimah tidak terjerumus ke dalam keharaman demi keharaman. Ibnul Qayyim menjelaskan persoalan ini secara panjang lebar dalam kitabnya Al-Jawab Al-Kafi li man Sa’ala ’an Ad-Dawa’ Asy-Syafi. Amat disayangkan, bahwa pelbagai acara sinetron dan juga film layar lebar mengajarkan kalangan muda untuk memandang nafsu asmaraharam itu sebagai ’pengalaman yang harus dicoba’. Pengalaman itu, tentu saja bukan pengalaman yang didapatkan dalam sebuah mahligai pernikahan, tapi melalui berbagai cara haram pula, seperti perkenalan melalui telepon, di pasar atau supermarket, terkadang juga di sekolah-sekolah yang masih mencampurbaurkan pria dan wanita, dan melalui berbagai cara lainnya. Seperti disebutkan dalam sebuah syair Arab jahiliyyah:
”Cinta wanita itu mendatangiku sebelum aku mengenal cinta, ternyata cinta itu masuk ke dalam hati yang hambar sehingga mengakar disana”
Cinta Tak Terlampiaskan
Cinta terhadap lawan jenis yang tidak diselesaikan dengan pernikahan, akan berkembang menjadi magma nafsu yang bergolak, lalu mengucur deras seperti lahar panas mengguyur alam kehidupan seorang muslim yang sebelumnya teduh dengan iman. dengan pernikahan, akan berkembang menjadi magma nafsu yang bergolak, lalu mengucur deras seperti lahar panas mengguyur alam kehidupan seorang muslim yang sebelumnya teduh dengan iman. Pelbagai akibat buruk, juga datang silih berganti. Diantaranya sebagai berikut:
  1. Berkurang rasa cinta kepada Allah. Sementara cintanya terhadap sesama makhluk jelas tidak akan pernah memberikan manfaat atau mudharat apa pun dengan sendirinya.
  2. Mendahulukan apa yang menjadi kesukaan kekasihnya itu, daripada kesukaan Allah
Ibnul Qayyim menjelaskan,”Kalau orang yang sedang dilanda asmara itu disuruh memilih antara kesukaan pujaannya itu dengan kesukaan Allah, pasti ia akan memilih yang pertama. Ia pun lebih merindukan perjumpaan dengan kekasihnya itu ketimbang pertemuan dengan Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, angan-angannya untuk selalu dekat dengan sang kekasih, lebih dari keinginannya untuk dekat dengan Allah”.
  1. Cinta buta. Artinya, cinta asmara itu membuat orang buta. Semua orang mengakui adanya realitas itu. Tapi sayang, sedikit di antara mereka yang enggan menjadi orang buta. Kebanyakan justru menikmati kebutaan itu. Cinta itu pula, yang membuat seorang pecinta rela meniru sang kekasih secara habis-habisan. Meniru cara berpakaian, cara bicara, bahkan hingga mimik wajah dan yang lainnya.
  2. Keganjilan. Asmara dapat menimbulkan pelbagai hal yang aneh pada diri orang yang sedang kasmaran. Karena asmara, dapat membuat orang menjadi linglung, menjadi mampu bertindak gila –gilaan, atau bahkan bisa membikin orang gila beneran.
Cinta asmara dengan berbagai akibatnya tersebut, tentu harus dilenyapkan, atau diberi pengikat yang mampu menjinakkannya dan mengubahnya menjadi ’percintaan’ di jalan Allah.
Waspadai Pacaran
Studi yang dilakukan sebagian ilmuwan barat pada lebih dari enam ribu orang antara laki-laki dan perempuan, menunjukkan bahwa masa-masa pertunangan, atau masa pengenalan pertama antara kedua pasangan itu, adalah paling besar bahayanya, karena kedua pasangan itu berusaha keras berperan bagus, masing-masing menyembunyikan keadaan dirinya dai pasangannya. Perbuatan ini tidak akan sempurna karena disertai niat yang buruk kecuali mungkin pada minoritas tertentu. Karena keinginan masing-masing dari keduanya adalah berhasil mendapatkan pasangannya, maka wajar saja bila dia menyembunyikan sebagian jati dirinya di hadapan pasangannya, karena ia lebih mengedepankan kepuasan yang menutupi hakikat sebenarnya.
Sudah selayaknya bila seorang lelaki berhati-hati melakukan hubungan dengan seorang wanita sebelum menikah. Tempuhlah jalur yang diperbolehkan dalam syariat untuk mencari calon pendamping. Jodoh ditentukan oleh Allah. Namun manusia bisa memilih jalan mendapatkannya dengan cara yang halal atau haram. Untuk memasuki mahligai yang penuh kesucian, tidak selayaknya seorang muslim menempuh jalan haram.
Seorang wanita juga harus waspada, jangan membiarkan dirinya menjadi korban kaum lelaki hidung belang. Bila ia rela dipacari oleh seorang laki-laki, ia akan mengalami setidaknya salah satu dari dua kemungkinan.oleh seorang laki-laki, ia akan mengalami setidaknya salah satu dari dua kemungkinan. Pertama, ternodai kehormatannya sebelum menikah, dan ini adalah musibah terbesar bagi seorang wanita suci. Kedua, kehancuran dan kegagalan dalam hidup berumah tangga. Maka, waspadai pacaran.
Pacaran yang Islami
Salah seorang dai terkemuka pernah ditanya, ”Ngomong-ngomong, dulu bapak dengan ibu, maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?”
Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah- berzina.
Nuansa berpikir seperti itu, tampaknya bukan hanya milik si dai. Banyak kalangan kaum muslimin yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu ibarat kalimat, “Mandi boleh, asal jangan basah.” Ungkapan yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam Islam. Kecuali kalau sekedar melakukan nadzar (melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadong dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bila kemudian ada istilah pacaran yang Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya istilah, meneggak minuman keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu di tenggal di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami, dan sejenisnya. Kalaupun ada aktivitas tertentu yang halal, kemudian di labeli nma-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlelu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat.
Pandangan Mata dan Bahayanya
Ibnul Qayyim mengungkapkan, ”Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menyuruh kaum mukminin menjaga pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, dan memberitahu kepada mereka dan memperhatikan perbuatan mereka. Firman Allah, ”Allah mengetahui pandangan mata yang berkhianat….” (Al-Mukmin:19)
Karena yang menjadi dasarnya adalah pandangan mata, maka Allah mendahulukan perintah menjaga pandangan mata daripada memelihara kemaluan. Karena semua malapetaka itu bermula dari mata, sebagaimana api yang besar juga berasal dari percikan api yang kecil. Dimulai dari mata, lalu menjadi angan-angan, lalu menjadi langkah perbuatan, lalu menjadi dosa dan kesalahan. Oleh sebab itu ada ulama yang mengungkapkan, ”Barang siapa menjaga empat hal ini, berarti telah memelihara agamanya, yakni lirikan mata, besitan hati, ucapan dan langkah kaki’.”
Beliau juga menjelaskan bahwa pandangan mata adalah pangkal dari kebanyakan musibah yang menimpa manusia. Karena pandangan itulah yang melahirkan besitan hati, kemudian berubah menjadi pikiran, lalu berubah menjadi syahwat, kemudian berubah lagi menjadi keinginan, kemudian menjadi tekad yang kuat, lalu menjadi perbuatan, bila tidak ada hal yang menghalanginya. Oleh sebab itu ada seorang penyair mengungkapkan:
Kesabaran menahan pandangan lebih mudah daripada kesabaran menahan akibatnya
Sebagaimana diungkapkan:
Segala bencana berasal dari pandangan mata, api yang besar berasal dari percikan api semata
Berapa banyak pandangan mata menghunjam hati pemiliknya, bagaikan anak panah tanpa busur dan tanpa tali pelecutnya
Selama seorang hamba masih memiliki mata yang dia hunjamkan sesukanya terhadap wanita cantik jelita, bahaya selalu akan mengintainya
Yang nikmat dalam pandangan mata terkadang berbahaya bagi hati pemiliknya, tidak ada gunanya kesenangan yang berakhir dengan penderitaan semata.
Hadist-Hadist dan Riwayat tentang Bencana Pandangan Mata
Rasulullah Shalallhu’alaihi wa sallam bersabda, ”Hati-hatilah terhadap godaan dunia dan godaan wanita, sesungguhnya bencana pertama yang menimpa Bani Israil adalah dari wanita.” (Riwayat Muslim)
Dari Jarir bin Abdullah diriwayatkan bahwa ia berkata, ”Aku pernah bertanya kepada Rasulullah tentang pandangan haram yang tidak disengaja. Maka beliau menyuruhku untuk memalingkan pandanganku.” (Riwayat Muslim)
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, ”Palingkanlah pandanganmu.”
Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda, ”Hai Ali! Janganlah engkau ikuti pandanganmu terhadap yang haram dengan pandangan yang lain. Karena yang pertama itu halal bagimu, dan yang kedua adalah haram.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dinyatakan shahih oleh Al-Albani)
Wahai Saudaraku tercinta!
Para ulama salaf dahulu selalu menahan pandangan mata mereka sedemikian rupa, karena khawatir terhadap godaan dan karena khawatir terjerumus ke dalam siksa Allah.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengungkapkan, ”Setiap pandangan mata, pasti menjadi incaran bagi setan.”
Konon Rabi’ bin Khutsaim rahimahullah selalu menjaga pandangan matanya. Bila lewat para wanita, ia menundukkan kepalanya –yakni hingga mengarah ke dadanya sendiri- sehingga kaum wanita itu mengira ia buta. Maka mereka pun berkata, ”Kami berlindung kepada Allah dari kebutaan!!”.
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata, ”Setan memiliki tiga tempat bersinggah pada diri lelaki, yakni matanya, hatinya dan kemaluannya. Sementara setan juga memiliki tiga tempat singgah pada diri perempuan, yakni mata, hati, dan kelemahannya.”
Sehubungan dengan firman Allah, ”Allah mengetahui pandangan mata yang berkhianat” (Al-Mukmin:19), beliau menjelaskan, ”Yakni seorang lelaki yang ada di antara sekelompok orang. Bila ada wanita lewat dihadapan mereka, ia memperlihatkan kepada mereka bahwa ia menahan pandangannya dari wanita itu. Tapi apabila mereka lengah, ia akan melihatnya. Padahal Allah telah mengetahui yang ada dalam hatinya, bahwa ia ingin melihat kemaluan wanita tersebut!”
Isa bin Maryam ’alaihisallam berkata, ”Pandangan kepada yang haram itu menanamkan syahwat dalam hati. Maka terjadilah perbuatan dosa.”
Ma’ruf radhiyallahu’anhu menyatakan, ”Jagalah pandangan kalian, meskipun terhadap kambing betina!”
Dzun Nun menyatakan, ”Lirikan mata itu menimbulkan penyesalan. Pada awalnya akan menjadikan sengsara, akhirnya adalah kebinasaan. Barangsiapa yang memperturutkan pandangan matanya, maka akan tergiring kepada kematiannya sendiri.”
Hisan bin Abu Sinan suatu hari keluar rumah yakni pada hari raya Idul Fitri. Sepulang sholat, istrinya bertanya, ”Berapa wanita cantik yang engkau lihat di jalan?” Beliau menjawab, ”Demi Allah, aku hanya melihat ke arah jempolku semenjak aku keluar rumah, hingga aku kembali kepadamu.”
Ahmad bin Hambal berkata, ”Berapa banyak pandangan mata yang menorehkan berbagai bencana ke dalam hati pemiliknya.”
Diungkapkan, ”Bila Anda melihat sakitku kian bertambah, dan penyakitmu membuat para dokter menjadi lelah, jangan terperangah! Demikianlah yang dilakukan pandangan mata terhadap hati pemiliknya.”
Hukum Melihat Wanita
Al Hafidz Abu Bakar bin Habib Al-Amiri mengungkapkan, ”Yang menjadi Ijmak (konsesus) ulama kaum muslimin, yang disepakati keharamannya oleh para ulama salaf dan khalaf dari kalangan ahli fiqih dan para imam adalah bahwa melihat lawan jenis yang bukan mahram, baik kemahraman nashab atau karena sesusuan. Mereka haram untuk saling melihat, menurut kesepakatan seluruh ulama kaum muslimin.” (Lihat Ahkam An-Nazhar ila Al-Muharramat)
Ketika Fadhal bin Abbas melihat seorang wanita, Nabi segera memalingkan pandangannya ke arah lain. (Riwayat Abu Dawud)
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Itu adalah bentuk larangan dan pencegahan dengan perbuatan langsung. Kalau perbuatan itu boleh, tentu Nabi akan membiarkannya saja.”
Menutup Jalan kepada Pandangan Haram
Wahai saudaraku tercinta !
Sesungguhnya Rasulullah telah menutup segala jalan yang menyebabkan terjadinya pandangan haram dengan sengaja kepada kaum wanita. Hal itu berasal dari keinginan beliau untuk membersihkan hati dan menjernihkan jiwa, serta menyelamatkan masyarakat Islam agar bertaqwa dan takut kepada Allah. Diantara kiat-kiat tersebut adalah:
  1. Beliau melarang kaum wanita yang shalat bersama kaum lelaki untuk mengangkat kepalanya sebelum kaum lelaki. Untuk mencegah agar mereka tidak melihat aurat lelaki dari belakang kain sarung mereka.
  2. Beliau melarang wanita yang keluar ke masjid untuk memakai minyak wangi atau asap bakaran kayu cendana. Karena itu dapat menyebabkan kaum lelaki tertarik kepada mereka. Karena bau mereka yang wangi, bentuk badan mereka dan lelak-lekuk tubuh mereka bisa mengundang selera kaum lelaki. Beliau memerintahkan mereka keluar rumah tanpa mengenakan wewangian.
  3. Beliau tidak memberikan hak kaum wanita berjalan di tengah jalan sehingga bisa dilihat dengan mudah oleh setiap lelaki. Tetapi hak mereka adalah di tepi dan pinggir-pinggir jalan.
  4. Beliau melarang seorang wanita menggambarkan sosok wanita lain kepada suaminya, sehingga seolah-olah sang suami melihat langsung wanita tersebut, demi menjaga yang haram dan memelihara dari kerusakan karena hati sang suami bisa saja akhirnya membayangkan si wanita dalam pikirannya.
  5. Beliau melarang kaum lelaki duduk-duduk di pinggir jalan. Hal itu semata-mata karena itu dapat menyebabkan terjadonya pandangan haram. Ketika para sahabat mengungkapkan, bagaimana bila terpaksa. Beliau bersabda, ”Berilah hak jalan.” Mereka bertanya?” Beliau menjawab, ”Menjaga pandangan, menahan diri dari kejahilan dan menjawab salam. ” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
  6. Nabi melarang kaum wanita untuk menghentak-hentakkan kakinya ketika berjalan, agar tidak mengundang kaum lelaki melihatnya, dan memandang perhiasan mereka yang tersembunyi.
Firman Allah, ”Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (An-Nur 31)
(Diambil dari buku Sutra Asmara, Ust Abu Umar Basyir)
Agu 20 2008

Aku Cinta Kamu!!!

Filed under islam itu indah
Berapa kali Anda mengucapkan kalimat itu kepada istri Anda dalam sehari? : perlukah kata itu diucapkan setiap hari? Apa yang mungkin ‘dilakukan’ kalimat itu, dalam hati seorang istri, bila itu diucapkan seorang suami, pada saat anak ketiganya menangis karena susunya habis? ASaya jelas tidak bisa menebaknya. Tapi beberapa orang suami atau istri mungkin bertanyada juga anggapan seperti ini, kalimat itu hanya dibutuhkan oleh mereka yang romantis dan sedang jatuh cinta, dan itu biasanya ada sebelum atau pada awal-awal pernikahan. Setelah usia nikah memasuki tahun ketujuh, realita dan rutinitas serta perasaan bahwa kita sudah tua membuat kita tidak membutuhkannya lagi.
Saya juga hampir percaya bahwa romantika itu tidak akan akan bertahan di depan gelombang realitas atau bertahan untuk tetap berjalan bersama usia pernikahan. Tapi kemudian saya menemukan ada satu fitrah yang lekat kuat dalam din manusia bahwa sifat kekanak kanakan —dan tentu dengan segala kebutuhan psikologisnya—tidak akan pernah lenyap sama sekali dan kepribadian seseorang selama apapun usia memakan perasaannya. Kebutuhan anak-anak akan ungkapan ungkapan verbal yang sederhana dan lugas dan ekspresi rasa cinta itu sama-sama dibutuhkan dan tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa yang satu Iebih dibutuhkan dan yang lain.
Perasaan manusia selamanya fluktuatif. Demikian pula semua jenis emosi yang dianggap dalam perasaan kita. Kadar rasa cinta, benci, takut, senangdan semacamnya tidak akan pernah sama dari waktu ke waktu. Tetapi yang mungkin terasa sublim adalah bahwa fluktuasi perasaan itu sering tidak disadari dan tidak terungkap atau disadari tapi tidak terungkap.
Situasi ini kemudian mengantar kepada kenyataan lain. Bahwa setiap kita tidak akan pernah bisa mengetahui dengan pasti perasaan orang lain terhadap dirinya. kita mungkin bisa menangkap itu dan sorotan mata, gerak tubuh dan perlakuan umum, tapi detil perasaan itu tetap tidak tertangkap selama ia tidak diungkap seeara verbal.
Perlukah detail perasaan itu kita ketahui, kalau isyarat isyaratnya sudah terungkap? Mungkin ya mungkin tidak. Tapi yang pasti bahwa kita semua, dan waktu ke waktu, membutuhkan kepastian. Kepastian bahwa kita tidak salah memahami isyarat tersebut. Bukankah kepastian juga yang diminta Nabi Ibrahim ketika beliau ingin menghidupkan dan mematikan?
Dan suasana ketidakpastian itulah biasanya setan memasuki dunia hati kita. Karena salah satu misi besar setan, kata Ibnul Qoyyim al Jauziyyah adalah memisahkan orang yang saling mencintai “Dan mereka belajar dan keduanya sesuatu yang dengannya mereka dapat memisahkan seseorang dan pasangannya.” (QS.2:102)
Dari ‘bab’ inilah ungkapan verbal berupa kata menemukan maknanya. Bahkan sesungguhnya ada begitu banyak kekurangan dalam perbuatan yang beban psikologisnya dapat terkurangi dengan kata. Ketika Anda menolak seorang pengemis karena tidak memiliki sesuatu yang dapat Anda sedekahkan, itu tentu sakit bagi pengemis itu. Tapi Allah menyuruh kita ‘mengurangi’ beban sakit itu dengan kata yang baik. Bukankah “perkataan yang baik lebih baik dan sedekah yang disertai cacian?”
******
Selanjutnya, perhatikan riwayat berikut ini: Suatu ketika seorang sababat duduk bersama Rasulullah saw. Kemudian seorang sahabat yang lain berlalu di depan mereka. Sahabat yang duduk bersama Rasulullah saw. itu berkata kepada Rasulullah saw.
“Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai orang itu.
“Sudahkah engkau menyatakan cintamu padanya?” tanya Rasulullah saw.
“Belum, ya Rasululllah.” kata sahabat itu.
“Pergilah menemui orang itu dan katakan bahwa karena kamu mencintainya,” kata Rasulullah saw
Jika kepada sesama sahabat,saudara atau ikhwah rasa cinta harus diungkapkan secara verbal, dapatkah kita membayangkan, seperti apakah verbalnya ungkapan rasa cinta yang semestinya kita berikan kepada istri kita? Apakah makhluk yang satu itu, yang mendampingi kita lebih banyak dalam saat-saat lelah dan susah dibanding saat-saat suka dan lapang, tidak lebih berhak untuk mendengarkan ungkapan rasa cinta itu?
Sekarang simak kisah Aisyah berikut ini:
Aisyah seringkali bermanja-manja kepada Rasulullah SAW. karena hanya dialah satu—satunya istri beliau yang perawan. Tapi, suatu waktu Aisyah masih bertanya juga kepada Rasulullah saw:
Jika engkau turun di suatu lembah lalu engkau lihat di situ ada rumput yang telah dimakan —oleh gembala lain— dan ada rumput yang belum dimakan, di rumput ,manakah gembalamu engkau suruh makan?”
Maka Rasulullah saw. menjawab,
Tentulah pada rumput yang belum dimakan (gembala lain). (HR. Bukhari).
Apakah Aisyah tidak tahu bahwa Rasulullah saw. sangat dan sangat mencintainya? Tentu saja tahu. Bahkan sangat tahu. Tapi mengapa ia masih harus bertanya dengan ‘metafor’ seperti di atas, dengan menonjolkan keperawanannya sebagai kelebihan yang membuatnya berbeda dan istri-istri Rasulullah saw. lainnya?
Apakah ia ragu? Saya tidak yakin kalau itu dirasakan Aisyah. Ia—dalam konteks hadits tadi— rasanya hanya menginginkan kepastian lebih banyak, peneguhan lebih banyak. Karena kepastian itu, karena peneguhan itu, memberinya nuansa jiwa yang lain; semacam rasa puas — dari waktu ke waktu— bahwa ‘lebih’ dan istri-istri Rasulullah saw yang lain, bahwa ia lebih istimewa.
Di tengah kesulitan ekonomi seperti sekarang, tidak banyak di antara kita yang sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga secara ideal. Dan dalam banyak hal kita mungkin perlu untuk lebih ‘tasamuh’ (Toleransi/lapang dada) dalam memandang hubungan ‘hak dan kewajiban’ yang sering kali menandai bentuk hubungan kita secara harfiah. Atau mungkin mengurangi efek psikologis yang ditumbuhkan oleh ketidakmampuan kita memenuhi semua kewajibandengan ‘kata yang baik.
Anda mungkin sering melihat betapa lelahnya istri Anda menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah. Mulai dari memasak, mencuci sampai menjaga dan merawat anak. Kerja berat itu sering kali tidak disertai dengan sarana teknologi yang mungkin dapat memudahkannya. Setan apakah yang telah meyakinkan kita begitu rupa bahwa rnakhluk mulia yang bernama istri saya atau istriAnda tidak butuh ungkapan “1 love,you” karena ia seorang ‘da’iyah’, karena ia seorang ‘mujahidah’ atau karena kita sudah sama-sama tahu, sama-sama paham, atau karena kita sudah sama-sama tua dan karenanya tidak cocok menggunakan cara ‘anak-anak muda’ menyatakan cinta? Setan apakah yang telah membuat kita begitu pelit untuk memberikan sesuatu yang manis walaupun itu hanya ungkapan kata? Setan apakah yang telah membuat kita begitu angkuh untuk mau merendah dan membuka rahasia hati kita yang sesungguhnya dan menyatakannya secara sederhana dan tanpa beban?
Tapi mungkin juga ada situasi begini. Anda mencintai istri Anda. Anda juga tidak terhambat oleh keangkuhan untuk menyatakannya berluang-ulang. Masalahnya hanya satu, Anda tidak biasa melakukan itu. Dan itu membuat Anda kaku.Jika Anda termasuk golongan mi, tulislah pula puisi S Djoko Damono ini dan berikanlah ia kepada istri Anda melalui putera atau puteri terakhir Anda.
Aku InginAku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Dikutip dari Buku “Biar Kuncupnya Mekar Jadi Bunga”
Oleh Muhammad Anis Matta (Direktur LPI Al Manar Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar