Sabtu, 30 Juli 2011

Ziarah Kubur dan Nilai Spiritualitas

Ziarah Kubur dan Nilai Spiritualitas

28 06 2010
Disusun oleh Yudin Taqyudin / Gus Taqi
(Ketua Umum Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, Cabang Kota Bogor)
[Tulisan ini sebagai tanggapan atas tulisan di rubrik harian tersebut Radar Bogor yang membahas Ziarah Kubur secara tendensius pada Minggu 27 Juni 2010]
Sekitar sebulan lagi umat Islam di dunia akan memasuki bulan Ramadlan. Menjelang bulan suci itu, sebagian masyarakat muslim memiliki tradisi ziarah kubur. Tujuannya untuk mendoakan arwah kerabat keluarga yang telah mendahului mereka. Maka ada pula sebagian masyarakat kita yang menyebut bulan Sya’ban (sebelum Ramadlan) itu dengan sebutan bulan ruwah yang berasal dari kata arwah. Karena pada bulan Sya’ban itu sebagian masyarakat melakukan ritual ziarah kubur.
Pada dasarnya ritual ziarah kubur tidak mesti dilakukan pada jelang Ramadlan atau saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha saja. Setiap saat pun ziarah ke kuburan jauh hari sudah dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Beliau bersaba, “Dulu aku pernah melarang kalian menziarahi kubur, sekarang telah diizinkan dengan Muhammad untuk berziarah pada kubur ibunya, karena itu berziarahlah ke pekuburan sebab hal itu dapat mengingatkan pada akhirat”. (Shahih Muslim jilid 2 halaman 366 Kitab al-Jana’iz).
Ziarah Kubur Sempat Dilarang
Mulanya berziarah kubur dilarang. Larangan Rasulallah SAW pada masa permulaan itu ialah karena masih dekatnya masa umat Islam kala itu dengan zaman jahiliyah dan kurang kuatnya akidah Islamiyah. Namun saat akidah mereka kuat dan memiliki pengetahuan keislaman yang cukup, Rasulullah SAW pun mengijinkannya. Hal itu ditegaskan melalui dalil hadits seperti dikemukakan di atas.
Anjuran sunnah untuk berziarah itu berlaku untuk laki-laki maupun wanita. Karena, dalam hadits tidak disebutkan kekhususan hanya untuk kaum pria saja. Namun bila ada yang menghukumi makruh berziarah bagi kaum wanita, itu disebabkan lemahnya kemampuan wanita untuk bersikap tabah dan sabar sewaktu berada diatas pekuburan atau dikarenakan penampilannya yang tidak mengenakan hijab (menutup auratnya) dengan sempurna. Demikian hal itu ditegaskan dalam I’anatut Thalibin jilid 2/142, at-Taajul Jami’ lil Ushul jilid 2 halaman 381, dan kitab Mirqotul Mafatih karya Mula Ali Qori jilid 4 halaman 248.
Dalam kitab Ma’rifatus Sunan wal Atsar jilid 3 halaman 203, Bab Ziarah Kubur disebutkan, Imam Syafi’i telah mengatakan: “Ziarah kubur hukumnya tidak apa-apa (boleh). Namun sewaktu menziarahi kubur hendak-nya tidak mengatakan hal-hal yang menyebabkan murka Allah”.
Amat disayangkan bila ada pihak yang menuduh tradisi ziarah kubur sebagai ritual umat agama lain. Seandainya umat agama lain pun melakukan hal yang sama seperti umat Islam dalam berziarah kubur, itu disebabkan kebutuhan yang sama terhadap konsumsi spiritual (rohani), yakni bertujuan untuk mengingatkan mereka terhadap kematian dan meminimalisir kecintaan terhadap duniawi.
Ziarah Kubur Solusi Krisis Spiritual
Masalah yang muncul dewasa ini di antaranya karena krisis spiritual yang menjamur. Era moderen dengan berbagai perkembangan teknologi dan informasi, membuat manusia bekerja seperti mesin yang mengejar kecepatan dan ketepatan dalam hal materialistik. Lumrahnya sebuah mesin tidak memiliki semangat rohani seperti manusia yang mengakibatkan mereka jauh dari nilai-nilai kerohanian. Mereka lupa terhadap hari akhirat yang mengakibatkan hidup pragmatis, instant, mengenyampingkan moral, dan berpikir jangka pendek.
Moderenitas dan perkembangan zaman tidak mesti membuat manusia lupa terhadap kematian. Melalui ziarah kubur, manusia dapat mengingat kematian dan hari akhirat. Karena mereka meyakini ada kematian dan kehidupan setelah kematian, niscaya umat manusia akan menjaga moralitas mereka sesama manusia.
Dengan moralitas yang beradab, sesama manusia tidak ada yang saling mengkafirkan, saling membid’ahkan, atau saling menyesatkan tanpa dalil yang jelas. Kewaspadaan menjaga moral dan sikap dikarenakan keyakinan mereka terhadap hari pembalasan, di mana saat itu setiap manusia akan diminta pertanggungjawaban dari setiap aktifitas yang dilakukan pada masa hidup di dunia.
Manusia yang melupakan mati membuat mereka terlalu cinta dunia, dan, bahkan mengakibatkan mereka takut mati. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Aku pernah menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang ke sepuluh yang datang, lalu salah seorang dari kaum Anshor berdiri seraya berkata, “Wahai Nabi Allah, siapakah manusia yang paling cerdik dan paling tegas?” Beliau menjawab, “(adalah) Mereka yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Mereka itulah manusia-manusia cerdas; mereka pergi (mati) dengan harga diri dunia dan kemuliaan akhirat.” (HR Ath-Thabrani, dishahihkan oleh al-Mundziri)
Ziarah Makam Ulama dan Awliya
Umumnya berziarah ke kuburan atau makam adalah untuk mengingatkan mati. Namun bila berziarah ke makam ulama dan awliya (jamak dari wali), tujuannya tidak sekedar mengingat kematian.
Di pusara makam ulama dan awliya, para peziarah bisa mendoakan mereka dan bertawassul (berperantara) melalui perantara kemuliaan (karomah) mereka. Karena kemuliaan para arwah tersebut, maka sebagian orang menyebutnya “makam keramat”.
Masalah tawassul dalam Islam merupakan masalah kontroversial (furu’iyyah). Namun pada dasarnya bertawassul dianjurkan dalam Islam. Hal ini didasarkan pada firman Allah QS Al-Maidah ayat 35, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (tawassul) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Saat menziarahi makam ulama shalihin dan awliya mukramiin (wali-wali mulia), tidak dipungkiri bahwa sebagian dari peziarah terlihat meminta kepada kuburan. Namun anggapan itu salah dan keliru. Secara kasat mata memang para peziarah seperti meminta kepada kuburan, padahal secara hakikatnya lantunan do’a yang terucap dari lisan dan maksud yang mereka bawa adalah ditujukan kepada Allah. Para peziarah tetap meminta kepada Allah melalui perantara orang-orang terdekat seperti awliya. Meski para wali itu telah tiada, namun hakikatnya mereka tetap hidup (lihat QS Al-Baqarah ayat 154 dan QS Ali ‘Imran ayat 169).
Selain meminta kepada Allah melalui perantara para wali-Nya, berziarah kepada ulama dan awliya pun bertujuan untuk meneladani kesalehan dan kemuliaan yang dilakukan semasa hidupnya. Maka berziarah ke berbagai makam ulama shalihin dan awliya mukramin merupakan sebuah keniscayaan dengan berbagai manfaat positif. Bahkan, berziarah kepada ulama dan awliya pun pernah dicontohkan oleh Imam Syafi’i dengan berziarah ke makam Imam Abu Hanifah (madzhab Hanafi) di Bagdad. Saat berziarah pun Imam Syafii melakukan shalat dua rakaat, memanjatkan doa di pusara makam dengan cara bertawassul, dan bertabarruk (berharap berkah) dari Imam Abu Hanifah. Alhasil, doanya pun diijabah. Demikian seperti ditegaskan oleh Al Khatib Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (1/123) dari jalur Umar bin Ishaq bin Ibrahim dan disebutkan pula dalam kitab Khairat al-Hissan fi manaqib al-Nu’man.
Adapun sabda Nabi SAW yang melarang bepergian ke tempat mana pun kecuali tiga masjid (Masjid Al-Haram, Masjid An-Nabawi, dan Masjid Al-Aqsha), itu bukan dalil untuk pelarangan berziarah, melainkan dalil tentang pahala shalat di masjid tersebut melebihi pahala shalat di masjid lainnya. Hal ini ditegaskan oleh Imam al-Hafizh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid jilid 4/3. Beliau berkata, “Orang tidak perlu berniat hendak bepergian jauh mendatangi sebuah masjid karena ingin menunaikan shalat didalamnya kecuali di Al-Masjidi Al-Haram, Al-Masjid Al-Aqsha dan masjidku ini (di Madinah)”.
Betapapun ada sebagian kecil pihak yang tidak menerima ritual ziarah, itu disebabkan karena perselisihan paham tanpa harus menyinggung masalah akidah. Dan ini pun termasuk pada ranah furu’iyah. Maka sepatutnya pihak yang berseberangan dengan pemahaman seperti tertulis di atas, tidak mudah menganggap sesat atau kafir terhadap muslim lainnya. Karena, “Barangsiapa yang berkata pada saudaranya ‘hai kafir’ kata-kata itu akan kembali pada salah satu diantara keduanya. Jika tidak (artinya yang dituduh tidak demikian) maka kata itu kembali pada yang mengucapkan (yang menuduh)”. (HR Imam Bukhari dan Ima Musim dari Ibnu ‘Umar).
Wallahul muwaffiq ilaa aqwaa-mith Thariiq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar