Minggu, 31 Juli 2011

** cetusan seorang kawan***

dengan namaMU ya ALLAH..
selawat dan salam ke atas Nabi Muhammad S.A.W



smbil memblek2 bku fzik, tiba2 ad satu msej msuk..



hmm.. spa plak yg send nih..


anta, gud luck 4 exam ye..!! bittaufiq wan najjah..


insyaALLAH.. doakn kjayaan kmi suma..


anta, ada idea x..??


idea? nk wt pa..?


wt satu puisi bole..?


ha..? ana tgh bca fzik ni.. x set kt kpala pn utk wt yg laen dri 2.. huhu..


try la.. kurg2 bole release tensen..


hmm.. btoi gk ea.. insyaALLAH..



haha.. apa da.. mcm2 mnusia skg ni kn.. senag ja sruh org wt puisi.. haha.. tpi xpala.. klau ada klebihan yg ad kt dri kita, at least kita gunakan kelebihan 2 untuk org laen sma kn..
yg pntg manfaat dri stu bole sma2 d kongsi.. insyaALLAH.. tpi ana x dak la pndai sgt dlam berpuisi.. klau yg tertulih kt sini pn main tibai ja..
haha.. ^_^ lantak la kn.. yg pntg orang bole pham.. n yg pntg, ad terkesan kt hati 2 n ada niat untk berubah kn.. insyaALLAH, ameen..



wanitaku..

inilah luahan hatiku..

yang lahir dari dasar hati dan naluri kelakianku..

bukan bererti untk menyakiti hatimu..

tidak terniat untuk menggores perasaanmu..

sekadar untuk meluahkan perasaanku..

dengan tujuan menyedarkan mu wahai wanitaku..

anggap saja coretan ini sebagai nasihat dariku..

bukan satu komentar untuk dirimu..



wanitaku..

ramai dari kalangan mu telah melupakan asal usul kejadian mu..

mengapa wanitaku??

adakah kamu telah melupakan suruhan nabi2??

apakah kamu sudah melupakan perintah ILLAHI??

kamu seperti sudah mendekati kaum YAHUDi??

kamu seperti termakan janji2..

janji2 yang dilemparkan bg tujuan menyusahkan dirimu satu hari nanti..



wanitaku..

ramai dari kalangan mu adalah ahli neraka..

bermakna dirimu itu susah untuk dijaga..

tetapi tidak bermakna dirimu itu suatu yang sia2..

peliharalah dirimu dari dorongan nafsu..

nafsu yang sentisa mengajak daripada menjauhi aturan tuhanmu..



wanitaku..

masih belum terlambat untuk kembali..

jalan2 taubat masih terbuka lagi..

selagi masih ada denyut nadi..


SURAT CINTA……


Filed under islam itu indah
Oleh Ust. Abu Umar Basyir
Ibnul Qayyim berkata,”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”
Cinta sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya.
Cinta Asmara
Persoalannya, bagaimana bila rasa cinta itu muncul jauh-jauh sehari sebelum terbesit rencana pernikahan? Seorang pemudi yang jatuh cinta terhadap gadis tetangganya? Atau seorang pelajar atau siswa yang tertarik dan menaruh hati pada teman sekolahnya?
Bila ketertarikan itu muncul secara wajar, bukanlah persoalan. Yang menjadi persoalan, sekali lagi, bila cinta itu dilampiaskan dengan cara yang haram. Satu-satunya cara yang halal untuk melampiaskan cinta tersebut hanyalah menikah. Kalau belum mampu menikah, tidak ada satu carapun yang bisa menyelesaikan kasus penyakit cinta tersebut. Ia jusru harus memeranginya, bukan karena haramnya cinta kasih, namun karena haramnya cinta itu dilampiaskan dil luar syari’at. Sebagai analoginya, mungkin bisa kita cermati makanan dan minuman. Betapa lezatnya suatu makanan, dan betapa laparpun kita, meski makanan itu halal, namun saat kita sedang berpuasa terutama puasa wajib di bulan ramadhan, kita harus menahan diri dan gejolak hawa nafsu dalam jiwa kita, hingga tiba saatnya berbuka. Kalau khawatir kesegaran makanan tersebut berkurang, berikan saja kepada orang yang sedang tidk berpuasa. Artinya, bila tiba saat berbuka dan Allah menakdirkan kita tetap bisa menyantap makanan itu, alhamdulillah. Namun bila tidak, ya tidak apa-apa.
Bila rasa cinta itu masih menggeliat di hati seseorang, sementara ia belum mampu menikahinya, maka rasa cinta itutidk boleh dipupuk. Karena melampiaskan cinta kasih dengan mengobrol, berbual-bual, saling melihat dan bepergian bersama-sama adalah haram. Dan sebenarnya inta seperti itu lebih layak disebut nafsu asmara, bukan cinta sejati. Balutannya adalah nafsu bukan iman. Karena orang yang ingin menyantap makanan yang bukan miliknya, atau yang haram hukumnya jika dimakan, atau menggauli wanita yang bukan istrinya, mencabut tanaman yang bukan kepunyaannya, berarti telak memiliki nafsu untuk berbuat kedzaliman, berbuat haram, dan melakukan pelanggaran terhadap aturan Allah. Coba simak hadist Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam,”Janganlah melihat lawan jenis lebih dari satu kali. Karena melihat yang pertama (tanpa sengaja) adalah mubah, tapi yang kedua sudah haram.” Juga sabda beliau kepada Ali, ”Palingkanlah pandanganmu dari wanita itu.”
Maka, jelas seorang muslim atau muslimah dilarang saling melihat lawan jenisnya untuk mengobrol berlama-lama, apalagi, bila dihati mereka sudah tertanam rasa saling menyukai, yang menyebabkan pandangan bukan hanya berualng dua kali, tapi puluhan bahkan ratusan kali. Nah, berapa banyak dosa yang dia tumpuk selama mengobrol dengannya?
Nafsu asmara seperti itu disebut panah iblis. Cara mengatasinya adalah dengan banyak berdzikir dan beribadah, serta upayakan menjauhi pergaulan dengannya dan dengan teman-teman dekatnya, agar seorang muslim atau muslimah tidak terjerumus ke dalam keharaman demi keharaman. Ibnul Qayyim menjelaskan persoalan ini secara panjang lebar dalam kitabnya Al-Jawab Al-Kafi li man Sa’ala ’an Ad-Dawa’ Asy-Syafi. Amat disayangkan, bahwa pelbagai acara sinetron dan juga film layar lebar mengajarkan kalangan muda untuk memandang nafsu asmaraharam itu sebagai ’pengalaman yang harus dicoba’. Pengalaman itu, tentu saja bukan pengalaman yang didapatkan dalam sebuah mahligai pernikahan, tapi melalui berbagai cara haram pula, seperti perkenalan melalui telepon, di pasar atau supermarket, terkadang juga di sekolah-sekolah yang masih mencampurbaurkan pria dan wanita, dan melalui berbagai cara lainnya. Seperti disebutkan dalam sebuah syair Arab jahiliyyah:
”Cinta wanita itu mendatangiku sebelum aku mengenal cinta, ternyata cinta itu masuk ke dalam hati yang hambar sehingga mengakar disana”
Cinta Tak Terlampiaskan
Cinta terhadap lawan jenis yang tidak diselesaikan dengan pernikahan, akan berkembang menjadi magma nafsu yang bergolak, lalu mengucur deras seperti lahar panas mengguyur alam kehidupan seorang muslim yang sebelumnya teduh dengan iman. dengan pernikahan, akan berkembang menjadi magma nafsu yang bergolak, lalu mengucur deras seperti lahar panas mengguyur alam kehidupan seorang muslim yang sebelumnya teduh dengan iman. Pelbagai akibat buruk, juga datang silih berganti. Diantaranya sebagai berikut:
  1. Berkurang rasa cinta kepada Allah. Sementara cintanya terhadap sesama makhluk jelas tidak akan pernah memberikan manfaat atau mudharat apa pun dengan sendirinya.
  2. Mendahulukan apa yang menjadi kesukaan kekasihnya itu, daripada kesukaan Allah
Ibnul Qayyim menjelaskan,”Kalau orang yang sedang dilanda asmara itu disuruh memilih antara kesukaan pujaannya itu dengan kesukaan Allah, pasti ia akan memilih yang pertama. Ia pun lebih merindukan perjumpaan dengan kekasihnya itu ketimbang pertemuan dengan Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, angan-angannya untuk selalu dekat dengan sang kekasih, lebih dari keinginannya untuk dekat dengan Allah”.
  1. Cinta buta. Artinya, cinta asmara itu membuat orang buta. Semua orang mengakui adanya realitas itu. Tapi sayang, sedikit di antara mereka yang enggan menjadi orang buta. Kebanyakan justru menikmati kebutaan itu. Cinta itu pula, yang membuat seorang pecinta rela meniru sang kekasih secara habis-habisan. Meniru cara berpakaian, cara bicara, bahkan hingga mimik wajah dan yang lainnya.
  2. Keganjilan. Asmara dapat menimbulkan pelbagai hal yang aneh pada diri orang yang sedang kasmaran. Karena asmara, dapat membuat orang menjadi linglung, menjadi mampu bertindak gila –gilaan, atau bahkan bisa membikin orang gila beneran.
Cinta asmara dengan berbagai akibatnya tersebut, tentu harus dilenyapkan, atau diberi pengikat yang mampu menjinakkannya dan mengubahnya menjadi ’percintaan’ di jalan Allah.
Waspadai Pacaran
Studi yang dilakukan sebagian ilmuwan barat pada lebih dari enam ribu orang antara laki-laki dan perempuan, menunjukkan bahwa masa-masa pertunangan, atau masa pengenalan pertama antara kedua pasangan itu, adalah paling besar bahayanya, karena kedua pasangan itu berusaha keras berperan bagus, masing-masing menyembunyikan keadaan dirinya dai pasangannya. Perbuatan ini tidak akan sempurna karena disertai niat yang buruk kecuali mungkin pada minoritas tertentu. Karena keinginan masing-masing dari keduanya adalah berhasil mendapatkan pasangannya, maka wajar saja bila dia menyembunyikan sebagian jati dirinya di hadapan pasangannya, karena ia lebih mengedepankan kepuasan yang menutupi hakikat sebenarnya.
Sudah selayaknya bila seorang lelaki berhati-hati melakukan hubungan dengan seorang wanita sebelum menikah. Tempuhlah jalur yang diperbolehkan dalam syariat untuk mencari calon pendamping. Jodoh ditentukan oleh Allah. Namun manusia bisa memilih jalan mendapatkannya dengan cara yang halal atau haram. Untuk memasuki mahligai yang penuh kesucian, tidak selayaknya seorang muslim menempuh jalan haram.
Seorang wanita juga harus waspada, jangan membiarkan dirinya menjadi korban kaum lelaki hidung belang. Bila ia rela dipacari oleh seorang laki-laki, ia akan mengalami setidaknya salah satu dari dua kemungkinan.oleh seorang laki-laki, ia akan mengalami setidaknya salah satu dari dua kemungkinan. Pertama, ternodai kehormatannya sebelum menikah, dan ini adalah musibah terbesar bagi seorang wanita suci. Kedua, kehancuran dan kegagalan dalam hidup berumah tangga. Maka, waspadai pacaran.
Pacaran yang Islami
Salah seorang dai terkemuka pernah ditanya, ”Ngomong-ngomong, dulu bapak dengan ibu, maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?”
Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah- berzina.
Nuansa berpikir seperti itu, tampaknya bukan hanya milik si dai. Banyak kalangan kaum muslimin yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu ibarat kalimat, “Mandi boleh, asal jangan basah.” Ungkapan yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam Islam. Kecuali kalau sekedar melakukan nadzar (melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadong dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bila kemudian ada istilah pacaran yang Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya istilah, meneggak minuman keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu di tenggal di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami, dan sejenisnya. Kalaupun ada aktivitas tertentu yang halal, kemudian di labeli nma-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlelu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat.
Pandangan Mata dan Bahayanya
Ibnul Qayyim mengungkapkan, ”Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menyuruh kaum mukminin menjaga pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, dan memberitahu kepada mereka dan memperhatikan perbuatan mereka. Firman Allah, ”Allah mengetahui pandangan mata yang berkhianat….” (Al-Mukmin:19)
Karena yang menjadi dasarnya adalah pandangan mata, maka Allah mendahulukan perintah menjaga pandangan mata daripada memelihara kemaluan. Karena semua malapetaka itu bermula dari mata, sebagaimana api yang besar juga berasal dari percikan api yang kecil. Dimulai dari mata, lalu menjadi angan-angan, lalu menjadi langkah perbuatan, lalu menjadi dosa dan kesalahan. Oleh sebab itu ada ulama yang mengungkapkan, ”Barang siapa menjaga empat hal ini, berarti telah memelihara agamanya, yakni lirikan mata, besitan hati, ucapan dan langkah kaki’.”
Beliau juga menjelaskan bahwa pandangan mata adalah pangkal dari kebanyakan musibah yang menimpa manusia. Karena pandangan itulah yang melahirkan besitan hati, kemudian berubah menjadi pikiran, lalu berubah menjadi syahwat, kemudian berubah lagi menjadi keinginan, kemudian menjadi tekad yang kuat, lalu menjadi perbuatan, bila tidak ada hal yang menghalanginya. Oleh sebab itu ada seorang penyair mengungkapkan:
Kesabaran menahan pandangan lebih mudah daripada kesabaran menahan akibatnya
Sebagaimana diungkapkan:
Segala bencana berasal dari pandangan mata, api yang besar berasal dari percikan api semata
Berapa banyak pandangan mata menghunjam hati pemiliknya, bagaikan anak panah tanpa busur dan tanpa tali pelecutnya
Selama seorang hamba masih memiliki mata yang dia hunjamkan sesukanya terhadap wanita cantik jelita, bahaya selalu akan mengintainya
Yang nikmat dalam pandangan mata terkadang berbahaya bagi hati pemiliknya, tidak ada gunanya kesenangan yang berakhir dengan penderitaan semata.
Hadist-Hadist dan Riwayat tentang Bencana Pandangan Mata
Rasulullah Shalallhu’alaihi wa sallam bersabda, ”Hati-hatilah terhadap godaan dunia dan godaan wanita, sesungguhnya bencana pertama yang menimpa Bani Israil adalah dari wanita.” (Riwayat Muslim)
Dari Jarir bin Abdullah diriwayatkan bahwa ia berkata, ”Aku pernah bertanya kepada Rasulullah tentang pandangan haram yang tidak disengaja. Maka beliau menyuruhku untuk memalingkan pandanganku.” (Riwayat Muslim)
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, ”Palingkanlah pandanganmu.”
Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda, ”Hai Ali! Janganlah engkau ikuti pandanganmu terhadap yang haram dengan pandangan yang lain. Karena yang pertama itu halal bagimu, dan yang kedua adalah haram.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dinyatakan shahih oleh Al-Albani)
Wahai Saudaraku tercinta!
Para ulama salaf dahulu selalu menahan pandangan mata mereka sedemikian rupa, karena khawatir terhadap godaan dan karena khawatir terjerumus ke dalam siksa Allah.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengungkapkan, ”Setiap pandangan mata, pasti menjadi incaran bagi setan.”
Konon Rabi’ bin Khutsaim rahimahullah selalu menjaga pandangan matanya. Bila lewat para wanita, ia menundukkan kepalanya –yakni hingga mengarah ke dadanya sendiri- sehingga kaum wanita itu mengira ia buta. Maka mereka pun berkata, ”Kami berlindung kepada Allah dari kebutaan!!”.
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata, ”Setan memiliki tiga tempat bersinggah pada diri lelaki, yakni matanya, hatinya dan kemaluannya. Sementara setan juga memiliki tiga tempat singgah pada diri perempuan, yakni mata, hati, dan kelemahannya.”
Sehubungan dengan firman Allah, ”Allah mengetahui pandangan mata yang berkhianat” (Al-Mukmin:19), beliau menjelaskan, ”Yakni seorang lelaki yang ada di antara sekelompok orang. Bila ada wanita lewat dihadapan mereka, ia memperlihatkan kepada mereka bahwa ia menahan pandangannya dari wanita itu. Tapi apabila mereka lengah, ia akan melihatnya. Padahal Allah telah mengetahui yang ada dalam hatinya, bahwa ia ingin melihat kemaluan wanita tersebut!”
Isa bin Maryam ’alaihisallam berkata, ”Pandangan kepada yang haram itu menanamkan syahwat dalam hati. Maka terjadilah perbuatan dosa.”
Ma’ruf radhiyallahu’anhu menyatakan, ”Jagalah pandangan kalian, meskipun terhadap kambing betina!”
Dzun Nun menyatakan, ”Lirikan mata itu menimbulkan penyesalan. Pada awalnya akan menjadikan sengsara, akhirnya adalah kebinasaan. Barangsiapa yang memperturutkan pandangan matanya, maka akan tergiring kepada kematiannya sendiri.”
Hisan bin Abu Sinan suatu hari keluar rumah yakni pada hari raya Idul Fitri. Sepulang sholat, istrinya bertanya, ”Berapa wanita cantik yang engkau lihat di jalan?” Beliau menjawab, ”Demi Allah, aku hanya melihat ke arah jempolku semenjak aku keluar rumah, hingga aku kembali kepadamu.”
Ahmad bin Hambal berkata, ”Berapa banyak pandangan mata yang menorehkan berbagai bencana ke dalam hati pemiliknya.”
Diungkapkan, ”Bila Anda melihat sakitku kian bertambah, dan penyakitmu membuat para dokter menjadi lelah, jangan terperangah! Demikianlah yang dilakukan pandangan mata terhadap hati pemiliknya.”
Hukum Melihat Wanita
Al Hafidz Abu Bakar bin Habib Al-Amiri mengungkapkan, ”Yang menjadi Ijmak (konsesus) ulama kaum muslimin, yang disepakati keharamannya oleh para ulama salaf dan khalaf dari kalangan ahli fiqih dan para imam adalah bahwa melihat lawan jenis yang bukan mahram, baik kemahraman nashab atau karena sesusuan. Mereka haram untuk saling melihat, menurut kesepakatan seluruh ulama kaum muslimin.” (Lihat Ahkam An-Nazhar ila Al-Muharramat)
Ketika Fadhal bin Abbas melihat seorang wanita, Nabi segera memalingkan pandangannya ke arah lain. (Riwayat Abu Dawud)
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Itu adalah bentuk larangan dan pencegahan dengan perbuatan langsung. Kalau perbuatan itu boleh, tentu Nabi akan membiarkannya saja.”
Menutup Jalan kepada Pandangan Haram
Wahai saudaraku tercinta !
Sesungguhnya Rasulullah telah menutup segala jalan yang menyebabkan terjadinya pandangan haram dengan sengaja kepada kaum wanita. Hal itu berasal dari keinginan beliau untuk membersihkan hati dan menjernihkan jiwa, serta menyelamatkan masyarakat Islam agar bertaqwa dan takut kepada Allah. Diantara kiat-kiat tersebut adalah:
  1. Beliau melarang kaum wanita yang shalat bersama kaum lelaki untuk mengangkat kepalanya sebelum kaum lelaki. Untuk mencegah agar mereka tidak melihat aurat lelaki dari belakang kain sarung mereka.
  2. Beliau melarang wanita yang keluar ke masjid untuk memakai minyak wangi atau asap bakaran kayu cendana. Karena itu dapat menyebabkan kaum lelaki tertarik kepada mereka. Karena bau mereka yang wangi, bentuk badan mereka dan lelak-lekuk tubuh mereka bisa mengundang selera kaum lelaki. Beliau memerintahkan mereka keluar rumah tanpa mengenakan wewangian.
  3. Beliau tidak memberikan hak kaum wanita berjalan di tengah jalan sehingga bisa dilihat dengan mudah oleh setiap lelaki. Tetapi hak mereka adalah di tepi dan pinggir-pinggir jalan.
  4. Beliau melarang seorang wanita menggambarkan sosok wanita lain kepada suaminya, sehingga seolah-olah sang suami melihat langsung wanita tersebut, demi menjaga yang haram dan memelihara dari kerusakan karena hati sang suami bisa saja akhirnya membayangkan si wanita dalam pikirannya.
  5. Beliau melarang kaum lelaki duduk-duduk di pinggir jalan. Hal itu semata-mata karena itu dapat menyebabkan terjadonya pandangan haram. Ketika para sahabat mengungkapkan, bagaimana bila terpaksa. Beliau bersabda, ”Berilah hak jalan.” Mereka bertanya?” Beliau menjawab, ”Menjaga pandangan, menahan diri dari kejahilan dan menjawab salam. ” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
  6. Nabi melarang kaum wanita untuk menghentak-hentakkan kakinya ketika berjalan, agar tidak mengundang kaum lelaki melihatnya, dan memandang perhiasan mereka yang tersembunyi.
Firman Allah, ”Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (An-Nur 31)
(Diambil dari buku Sutra Asmara, Ust Abu Umar Basyir)
Agu 20 2008

Aku Cinta Kamu!!!

Filed under islam itu indah
Berapa kali Anda mengucapkan kalimat itu kepada istri Anda dalam sehari? : perlukah kata itu diucapkan setiap hari? Apa yang mungkin ‘dilakukan’ kalimat itu, dalam hati seorang istri, bila itu diucapkan seorang suami, pada saat anak ketiganya menangis karena susunya habis? ASaya jelas tidak bisa menebaknya. Tapi beberapa orang suami atau istri mungkin bertanyada juga anggapan seperti ini, kalimat itu hanya dibutuhkan oleh mereka yang romantis dan sedang jatuh cinta, dan itu biasanya ada sebelum atau pada awal-awal pernikahan. Setelah usia nikah memasuki tahun ketujuh, realita dan rutinitas serta perasaan bahwa kita sudah tua membuat kita tidak membutuhkannya lagi.
Saya juga hampir percaya bahwa romantika itu tidak akan akan bertahan di depan gelombang realitas atau bertahan untuk tetap berjalan bersama usia pernikahan. Tapi kemudian saya menemukan ada satu fitrah yang lekat kuat dalam din manusia bahwa sifat kekanak kanakan —dan tentu dengan segala kebutuhan psikologisnya—tidak akan pernah lenyap sama sekali dan kepribadian seseorang selama apapun usia memakan perasaannya. Kebutuhan anak-anak akan ungkapan ungkapan verbal yang sederhana dan lugas dan ekspresi rasa cinta itu sama-sama dibutuhkan dan tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa yang satu Iebih dibutuhkan dan yang lain.
Perasaan manusia selamanya fluktuatif. Demikian pula semua jenis emosi yang dianggap dalam perasaan kita. Kadar rasa cinta, benci, takut, senangdan semacamnya tidak akan pernah sama dari waktu ke waktu. Tetapi yang mungkin terasa sublim adalah bahwa fluktuasi perasaan itu sering tidak disadari dan tidak terungkap atau disadari tapi tidak terungkap.
Situasi ini kemudian mengantar kepada kenyataan lain. Bahwa setiap kita tidak akan pernah bisa mengetahui dengan pasti perasaan orang lain terhadap dirinya. kita mungkin bisa menangkap itu dan sorotan mata, gerak tubuh dan perlakuan umum, tapi detil perasaan itu tetap tidak tertangkap selama ia tidak diungkap seeara verbal.
Perlukah detail perasaan itu kita ketahui, kalau isyarat isyaratnya sudah terungkap? Mungkin ya mungkin tidak. Tapi yang pasti bahwa kita semua, dan waktu ke waktu, membutuhkan kepastian. Kepastian bahwa kita tidak salah memahami isyarat tersebut. Bukankah kepastian juga yang diminta Nabi Ibrahim ketika beliau ingin menghidupkan dan mematikan?
Dan suasana ketidakpastian itulah biasanya setan memasuki dunia hati kita. Karena salah satu misi besar setan, kata Ibnul Qoyyim al Jauziyyah adalah memisahkan orang yang saling mencintai “Dan mereka belajar dan keduanya sesuatu yang dengannya mereka dapat memisahkan seseorang dan pasangannya.” (QS.2:102)
Dari ‘bab’ inilah ungkapan verbal berupa kata menemukan maknanya. Bahkan sesungguhnya ada begitu banyak kekurangan dalam perbuatan yang beban psikologisnya dapat terkurangi dengan kata. Ketika Anda menolak seorang pengemis karena tidak memiliki sesuatu yang dapat Anda sedekahkan, itu tentu sakit bagi pengemis itu. Tapi Allah menyuruh kita ‘mengurangi’ beban sakit itu dengan kata yang baik. Bukankah “perkataan yang baik lebih baik dan sedekah yang disertai cacian?”
******
Selanjutnya, perhatikan riwayat berikut ini: Suatu ketika seorang sababat duduk bersama Rasulullah saw. Kemudian seorang sahabat yang lain berlalu di depan mereka. Sahabat yang duduk bersama Rasulullah saw. itu berkata kepada Rasulullah saw.
“Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai orang itu.
“Sudahkah engkau menyatakan cintamu padanya?” tanya Rasulullah saw.
“Belum, ya Rasululllah.” kata sahabat itu.
“Pergilah menemui orang itu dan katakan bahwa karena kamu mencintainya,” kata Rasulullah saw
Jika kepada sesama sahabat,saudara atau ikhwah rasa cinta harus diungkapkan secara verbal, dapatkah kita membayangkan, seperti apakah verbalnya ungkapan rasa cinta yang semestinya kita berikan kepada istri kita? Apakah makhluk yang satu itu, yang mendampingi kita lebih banyak dalam saat-saat lelah dan susah dibanding saat-saat suka dan lapang, tidak lebih berhak untuk mendengarkan ungkapan rasa cinta itu?
Sekarang simak kisah Aisyah berikut ini:
Aisyah seringkali bermanja-manja kepada Rasulullah SAW. karena hanya dialah satu—satunya istri beliau yang perawan. Tapi, suatu waktu Aisyah masih bertanya juga kepada Rasulullah saw:
Jika engkau turun di suatu lembah lalu engkau lihat di situ ada rumput yang telah dimakan —oleh gembala lain— dan ada rumput yang belum dimakan, di rumput ,manakah gembalamu engkau suruh makan?”
Maka Rasulullah saw. menjawab,
Tentulah pada rumput yang belum dimakan (gembala lain). (HR. Bukhari).
Apakah Aisyah tidak tahu bahwa Rasulullah saw. sangat dan sangat mencintainya? Tentu saja tahu. Bahkan sangat tahu. Tapi mengapa ia masih harus bertanya dengan ‘metafor’ seperti di atas, dengan menonjolkan keperawanannya sebagai kelebihan yang membuatnya berbeda dan istri-istri Rasulullah saw. lainnya?
Apakah ia ragu? Saya tidak yakin kalau itu dirasakan Aisyah. Ia—dalam konteks hadits tadi— rasanya hanya menginginkan kepastian lebih banyak, peneguhan lebih banyak. Karena kepastian itu, karena peneguhan itu, memberinya nuansa jiwa yang lain; semacam rasa puas — dari waktu ke waktu— bahwa ‘lebih’ dan istri-istri Rasulullah saw yang lain, bahwa ia lebih istimewa.
Di tengah kesulitan ekonomi seperti sekarang, tidak banyak di antara kita yang sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga secara ideal. Dan dalam banyak hal kita mungkin perlu untuk lebih ‘tasamuh’ (Toleransi/lapang dada) dalam memandang hubungan ‘hak dan kewajiban’ yang sering kali menandai bentuk hubungan kita secara harfiah. Atau mungkin mengurangi efek psikologis yang ditumbuhkan oleh ketidakmampuan kita memenuhi semua kewajibandengan ‘kata yang baik.
Anda mungkin sering melihat betapa lelahnya istri Anda menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah. Mulai dari memasak, mencuci sampai menjaga dan merawat anak. Kerja berat itu sering kali tidak disertai dengan sarana teknologi yang mungkin dapat memudahkannya. Setan apakah yang telah meyakinkan kita begitu rupa bahwa rnakhluk mulia yang bernama istri saya atau istriAnda tidak butuh ungkapan “1 love,you” karena ia seorang ‘da’iyah’, karena ia seorang ‘mujahidah’ atau karena kita sudah sama-sama tahu, sama-sama paham, atau karena kita sudah sama-sama tua dan karenanya tidak cocok menggunakan cara ‘anak-anak muda’ menyatakan cinta? Setan apakah yang telah membuat kita begitu pelit untuk memberikan sesuatu yang manis walaupun itu hanya ungkapan kata? Setan apakah yang telah membuat kita begitu angkuh untuk mau merendah dan membuka rahasia hati kita yang sesungguhnya dan menyatakannya secara sederhana dan tanpa beban?
Tapi mungkin juga ada situasi begini. Anda mencintai istri Anda. Anda juga tidak terhambat oleh keangkuhan untuk menyatakannya berluang-ulang. Masalahnya hanya satu, Anda tidak biasa melakukan itu. Dan itu membuat Anda kaku.Jika Anda termasuk golongan mi, tulislah pula puisi S Djoko Damono ini dan berikanlah ia kepada istri Anda melalui putera atau puteri terakhir Anda.
Aku InginAku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Dikutip dari Buku “Biar Kuncupnya Mekar Jadi Bunga”
Oleh Muhammad Anis Matta (Direktur LPI Al Manar Jakarta)

****** Bayang-bayang Nabi. ******

Filed under islam itu indah
Ya Rasulullah, apa yang harus dilakukan para pemimpin ?
“Membela yang lemah dan membantu yang miskin” jawab Nabi.
Ya Rasulullah, apa yang harus dilakukan ulama ?
Memberi contoh yang baik dan mendukung pemimpin
Yang membela orang - orang lemah” jawabnya
Ya Rasulullah … apa yang harus dilakukan orang-orang lemah dan miskin ?
“Bersabarlah, dan tetaplah bersabar
Jangan kau lihat pemimpinmu yang suka harta
Jangan kau ikuti ulamamu yang mendekati mereka
Jangan kau temani orang-orang yang menjilat mereka
Jangan kau lepaskan pandanganmu dari para pemimpin dan ulama yang hidupnya juhud dari harta”
Ya RAsulullah… Pemimpin seperti itu sudah tidak ada
Ulama seperti itu sudah menghilang entah kemana
Yang tersisa adalah pemimpin serakah
Yang tertinggal adalah ulama-ulama yang tama’
Banyak rakyat yang mengikuti keserakahan mereka
Ummat banyak yang meneladani ketamakan mereka !
Apa yang harus aku lakukan, Ya… RAsulullah !
Siapa yang harus aku angkat jadi pemimpin ?
Siapa yang harus aku ikuti fatwa-fatwanya ?
Siapa yang harus aku jadikan teman setia ?
“Wahai ummatku…
Tinggalkan mereka semua
Dunia tidak akan bertambah baik sebab mereka
Bertemanlah dengan anak dan istrimu saja
Karena Allah menganjurkan, “Wa ‘asiruhunna bil ma’ruf”
Ikutilah fatwa hatimu
Karena hadits mengatakan, “Istafti qalbaka, wa in aftaukan nas waftauka waftauka”
Dan angkatlah dirimu menjadi pemimpin
Bukankah, “Kullulkum Ra’in, ea kullukum masulun ‘an ra’iyyatihi ?”

****** Bayang-bayang Nabi. ******

Filed under islam itu indah
Ya Rasulullah, apa yang harus dilakukan para pemimpin ?
“Membela yang lemah dan membantu yang miskin” jawab Nabi.
Ya Rasulullah, apa yang harus dilakukan ulama ?
Memberi contoh yang baik dan mendukung pemimpin
Yang membela orang - orang lemah” jawabnya
Ya Rasulullah … apa yang harus dilakukan orang-orang lemah dan miskin ?
“Bersabarlah, dan tetaplah bersabar
Jangan kau lihat pemimpinmu yang suka harta
Jangan kau ikuti ulamamu yang mendekati mereka
Jangan kau temani orang-orang yang menjilat mereka
Jangan kau lepaskan pandanganmu dari para pemimpin dan ulama yang hidupnya juhud dari harta”
Ya RAsulullah… Pemimpin seperti itu sudah tidak ada
Ulama seperti itu sudah menghilang entah kemana
Yang tersisa adalah pemimpin serakah
Yang tertinggal adalah ulama-ulama yang tama’
Banyak rakyat yang mengikuti keserakahan mereka
Ummat banyak yang meneladani ketamakan mereka !
Apa yang harus aku lakukan, Ya… RAsulullah !
Siapa yang harus aku angkat jadi pemimpin ?
Siapa yang harus aku ikuti fatwa-fatwanya ?
Siapa yang harus aku jadikan teman setia ?
“Wahai ummatku…
Tinggalkan mereka semua
Dunia tidak akan bertambah baik sebab mereka
Bertemanlah dengan anak dan istrimu saja
Karena Allah menganjurkan, “Wa ‘asiruhunna bil ma’ruf”
Ikutilah fatwa hatimu
Karena hadits mengatakan, “Istafti qalbaka, wa in aftaukan nas waftauka waftauka”
Dan angkatlah dirimu menjadi pemimpin
Bukankah, “Kullulkum Ra’in, ea kullukum masulun ‘an ra’iyyatihi ?”

SINAR CAHAYA AYAT KURSI


Filed under islam itu indah
 
Dlm sebuah hadis, ada menyebut perihal seekor syaitan yang duduk di atas  pintu rumah. Tugasnya ialah untuk menanam keraguan di hati suami  terhadap kesetiaan isteri di rumah dan keraguan di hati isteri terhadap  kejujuran suami di luar rumah. Sebab itulah Rasulullah tidak akan masuk rumah   sehingga Baginda mendengar jawaban salam dari isterinya. Di saat itu syaitan akan   lari bersama-sama dengan salam itu.
Hikmat Ayat Al-Kursi mengikut Hadis-hadis:
1) Barang siapa membaca ayat Al-Kursi bila berbaring di tempat tidurnya,      Allah SWT mewakilkan dua orang Malaikat memeliharanya hingga subuh.
2) Barang siapa membaca ayat Al-Kursi di akhir setiap sembahyang Fardhu,    dia akan berada dalam lindungan Allah SWT hingga sembahyang yang lain.
3) Barang siapa membaca ayat Al-Kursi di akhir tiap sembahyang, dia     akan masuk syurga dan barang siapa membacanya ketika hendak tidur,     Allah SWT akan memelihara rumahnya dan rumah-rumah disekitarnya.
4) Barang siapa membaca ayat Al-Kursi di akhir tiap-tiap shalat fardhu,    Allah SWT menganugerahkan dia setiap hati orang yang bersyukur,     setiap perbuatan orang yang benar,  pahala nabi2, serta Allah melimpahkan    rahmat padanya.
5) Barang siapa membaca ayat Al-Kursi sebelum keluar rumahnya, maka    Allah SWT mengutuskan 70,000 Malaikat kepadanya - mereka semua     memohon keampunan dan mendoakan baginya.
6) Barang siapa membaca ayat Al-Kursi di akhir sembahyang, Allah SWT    akan mengendalikan pengambilan rohnya dan dia adalah seperti orang    yang berperang bersama Nabi Allah sehingga mati syahid.
7) Barang siapa yang membaca ayat Al-Kursi ketika dalam kesempitan    niscaya Allah SWT berkenan memberi pertolongan kepadanya.  
Dari Abdullah bin ‘Amr r.a., Rasulullah S.A.W. bersabda,     ‘Sampaikanlah pesanku biarpun satu ayat…’  
‘Utamakan SELAMAT dan SEHAT untuk Dunia-mu, utamakan SHOLAT dan ZAKAT      untuk Akhirat-mu’
 Subhanallah. .

السّلام عليكم ورحمة الله وبركاته بسم الله الرّحمن الرّحيم

Oleh : Kang Anip 
السّلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Pagi yang indah kawan, Cuaca hari ini sangat mendukung buat bikin oret-oretan. Siapa tau saja bisa menghasilkan karya yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa ...ha ha ha ha,  terlalu berlebihan. Tapi yang terpenting bisa bermanfaat bagi diri sendiri saja itu sudah lebih dari cukup buat saya. Sesuai dengan judul blog ini (Tanbihun Linafsi) yang kalau tidak salah artinya “Instropeksi Diri” tulisan ini khusus saya persembahkan buat diri saya sendir, tapi kalau diantara pembaca ada yang mau sih soooook mangga atu di candak nya … bebas mau di apakan saja.!
Ok kawan..,! kita langsung saja ke maksud dan tujuan saya membuat oret-oretan kali ini. Tapi sbelumnya saya mohon dibukakan pintu maaf yang seluas sluasnya dan dapat di maklumi dengan sesadar sadarnya karena isi dari artikel ini sanagat tidak sesuai dengan judul yang saya beriakan juga saya minta maaf dan maklumnya sekali lagi jika ada pembahasan yang saya tuturkan tidak sesuai dengan apa yang pemabaca pelajari, karena saya hanya segelintir orang yang sangat minim akan pengetahuan dan sangat menyukai tulis menulis tanpa didasari dengan belajar yang formal.
Jika kita berbicara tentatang agama pasati identik dengan iman, dalam agma isalam definisi iman tidak terlepas dari Ilmu Tauhid, sebenarnya apa sih Ilmu Tauhid itu...? jika pembaca pernah membaca kitaab Tijan Darori, disitu dijelaskan dengan sangat gamblang dan terperinci bahawa Tauhid itu membahas tiga unsur dasar, yaitu Ilahiat, Nubuwiat, dan Samai'at.
1.      Ilahiat
Ialahiat, yaitu ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan atau keEsaan Tuhan (Allah SWT), seperti sifat-sifat yang yang wajib terhadap dzat Tuhan (Allah SWT), sifat-sifat yang mustahil terhadap Dzatiahnya Tuhan (Allah SWT) dan sifat-sifat yang wenang terhadap Dzatiah Tuhan (Allah SWT).
a)      Sifat-sifat atau perkara-pekara yang Wajib terhadap Dzatiah Tuhan (Allah SWT) yaitu seperti yang telah kita ketahui bahawa sifat-sifat yang wajib terhadap Allah SWT itu ada 20, diantaranya adalah Allah SWT wajib wujud artinya Allah SWT itu wajib ada dan adanya Allah itu tidak didahului oleh tidak ada ( لااوّل له ولااخرله )  berbeda dengan manusia, binatang, alam beserta isinya dan sebagainya itu disebut mahluk, mahluk seperti kita, adanya kita itu didahului dengan tidak ada, adanya mahluk itu berasal dari tdak ada jadi ada, dari ada jadi tidak ada karena mahluk seperti kita tidak memiliki sifat kekal, pernahkah terbesit dalam fikiran kita “dimana Allah SWT itu berada”,? ketahuilah kawan bahwa adanya Allah SWT itu tidak  membutuhkan tempat, waduuh… klo begitu Allah SWT itu tidak ada dong,? ...he he he itulah bedanya Allah SWT dengan mahluk, jika Allah SWT membutuhkan tempat berarti Allah SWT itu sama dong kaya mahluk seperti kita yang sifatnya baru (حودث) dan jika Allah SWT itu sama kaya mahluk seperti kita yang adanya didahului oleh tiada, adanya membutuhkan tempat, membutuhkan makan dsb, berarti Allah SWT itu bukanlah tuhan yang patut disembah dan diagung-agungkan, dalam Islam haram hukumnya menyembah atau menuhankan yang seperti itu.
b)      Sifat-sifat atau perkara-pekara yang Mustahil terhadap Dzatiah Tuhan (Allah SWT) yaitu kebaliaknnya dari Sifat-sifat yang wajib, diantaranya yaitu ‘adam ( عدم ) artinya tidak ada, dapat kita simpulkan bahawa Mustahil Allah SWT terkena sifat tidak ada, sedangkan banyak sekali bahkan sangat banyak bukti yang menunjukkan tentang keberadaan Allah SWT.
c)      Sifat-sifat atau perkara-pekara yang wenang / mungkin terhadap Allah, kalau kita berbicara “mungkin” mungkin adalah suatu Dzon (sangakaan). Mungkin bisa mungkin juga tidak karena Allah SWT adalah yang maha memiliki ketentuan.
2.      Nubuwiat
Nubuwiat, yaitu ilmu yang mempelajari tentang Kenabian, seperti sifat-sifat yang yang wajib tehadap Rasul Allah S.A.W, sifat-sifat yang mustahil tehadap Rasul Allah S.A.W dan sifat-sifat yang wenang  tehadap Rasul Allah S.A.W.
a)      Sifat-sifat yang Wajib  terhadap Rasul Allah S.A.W itu  ada empat, yang dimaksud sifat wajib adalah sifat-sifat atau kriteria-kriteria yang ada pada diri Rasul diantaranya  yaitu :
-         Sidiq (صدق) artinya benar. Benar bahwa segala apa yang disampaikan oleh para Rasul Allah S.A.W itu adalah wahyu dari Allah bukan semata-mata hasil rekayasa diri dia sendiri dan Rasul tidak pernah bohong dalam menyampaikan ajaran, baik yang dimengerti oleh logika kita maupun yang sulit dimengerti oleh logika manusia.
-         Amanah ( امنة ) artinya adalah dapat dipercaya, Rasul tidak mungkin berbohong dalam menyampaikan amanahnya, Rasul tidak pernah mengurangi atau melebihi wahyu yang diturunkan oleh Allah kepadanya melalui malaikat jibril.
-         Tabligh ( تبلغ ) artinya menyampaikan, Rasul S.A.W tidak pernah menyembunyikan sedikitpun wahyu yang diturunkan kepadanya.
-         Fatonah ( فطنه ) artinya  cerdas
b)      Sifat-sifat yang mustahil terhadap Rasul Allah S.A.W,Yang dimaksud sifat mustahil bagi Rasul adalah sifat-sifat yang tidak mungkin dimiliki oleh para Rasul. Sifat-sifat mustahil bagi Rasul ada empat macam, yaitu Kidzib, Khiyaanah, Kitmaan dan Balaadah yang akan dijelaskan sebagai berikut :
-         KIDZIB
Kidzib artinya adalah dusta. Semua Rasul adalah manusia-manusia yang dipilih oleh Allah SWT sebagai utusan-Nya. Mereka selalu memperoleh bimbingan dari Allah SWT sehngga terhindar dari sifat-sifat tercela. Setiap rasul benar ucapannya dan benar pula perbuatannya. Sifat dusta hanya dimiliki oleh manusia yang ingin mementingkan dirinya sendiri, sedangkan rasul mementingkan umatnya.
-         KHIYAANAH
Khiyaanah artinya adalah berkhianat atau curang. Tidak mungkin seorang Rasul berkhianat atau ingkar janji terhadap tugas-tugas yang diberikan Allah SWT kepadanya. Orang yang khianat terhadap kepercayaan yang telah diberikan kepadanya adalah termasuk orang yang munafik, rasul tidak mungkin menjadi seorang yang munafik. Sepanjang sejarah belum pernah ada seorang Rasul yang khianat kepada umatnya.
-         KITMAAN
Kitmaan artinya adalah menyembunyikan. Semua ajaran yang disampaikan oleh para Rasul kepada umatnya tidak ada yang pernah disembunyikan. Jangankan yang mudah dikerjakan dan difahami dengan akal fikiran, yang sulit pun akan disampaikan olehnya seperti peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW.
-         BALAADAH
Balaadah artinya adalah bodoh. Seorang Rasul mempunyai tugas yang berat. Rasul tidak mungkin seorang yang bodoh. Jika Rasul bodoh, maka ia tidak akan dapat mengemban amanat dari Allah SWT. Jadi, mustahil rasul memiliki sifat bodoh.
c)      Sifat-sifat yang wenang terhadap Rasul Allah S.A.W, yang dimaksud sifat wenang bagi Rasul adalah sifat-sifat yang mungkin dimiliki oleh para Rasul, sebagai mana manusia biasa Rasul pun memiliki kebutuhan pokok seeprti makan, minum, tidur dll, Rasul pun bisa terkena sakit seperti kita.
3.      Samai'at
Samai’at adalah ilmu yang mempelajari tentang kejadian-kejadian yang sangat tidak masuk akal atau yang sulit di pahami oleh logika manusia, tapi benar adanya dan sungguh-sunguh terjadi, seperti adanya sual qubur atau pertanyaan malaikat Munkar dn Nakir di dalam qubur, tentang azab qubur atau siksaan di dalam kubur, kenikmatan di dalam kubur, bangkitnya kembali manusia di hari kiamat, syafaat, catatan amal, sidang, timbangan amal, jembatan sirotol mustakim, surga, neraka, dan kisah Isra wal Mi’raj yang semuanya itu sangat sulit dipahami oleh logika manusia dan hanya orang-orang yang berimanlah yang bisa memepercayai semua kejadian tersebut.

islam itu indah kawan (islam itu kaffah)

Masuklah Islam Secara Kaffah

7 Februari 2010
 
i
Rate This
Quantcast
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (TQS al-Baqarah [2]: 208-209).
Tatkala seseorang mendeklarasikan diri sebagai seorang Muslim, wajib baginya masuk Islam secara totalitas. Islam harus diterima secara utuh. Tidak boleh ada bagian yang tinggalkan, diabai-kan, bahkan ditolak. Sebagaimana halnya tidak boleh memasukkan ide atau ajaran lain ke dalam Islam. Ketentuan tersebut termaktub dalam ayat di atas. Dalam ayat tersebut, kaum Muk-min diperintahkan masuk ke dalam Islam secara kâffah sekaligus tidak mengikuti langkah-langkah syetan.
Pengertian al-Silm
Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû [u]d-khulû fî al-silm kâffah (hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin. Mereka diperintahkan untuk masuk ke dalam al-silmi secara kâffah.
Ibnu Jarir al-Thabari mengutip pendapat banyak mufassir terkemuka, seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, al-Sudi, Ibnu Zaid, dan al-Dhahhak yang memaknai al-silm dengan al-Islâm. Pendapat ini juga dikuatkan oleh al-Thabari dan al-Samarqandi. Dengan demikian, ayat ini dapat dimaknai sebagai perintah agar memasuki Islam secara kâffah. Sebagaimana dikutip al-Thabari, ada yang memaknai kata al-silm di sini dengan al-musâlamah, yakni perdamaian, perundingan, meninggalkan perang, dan memberikan jizyah. Itu artinya, kaum Muslim diperintahkan mengadakan perdamaian secara total. Akan tetapi, pendapat tersebut lemah.
Alasannya, sekalipun kata al-silmi juga bisa diartikan al-musâlamah, namun pengertian tersebut bertentangan dengan ayat-ayat muhkamat atau dalil lain yang lebih jelas maknanya. Jika dimaknai sebagai perdamaian secara total, berarti tidak ada lagi perintah perang terhadap kaum kafir. Dalam menghadapi mereka, kaum Muslim hanya diperintahkan melakukan perundingan dan perdamaian.
Pengertian tersebut jelas bertentangan dengan banyak ayat dan hadits yang mewajibkan perang melawan kaum kafir. Dalam QS al-Baqarah [2]: 216 disebutkan secara tegas: Kutiba ‘alaykum al-qitâl (diwajibkan atas kalian perang). Kewajiban tersebut makin dikukuhkan dengan adanya perintah kepada kaum Muslim untuk berangkat perang, baik dalam keadaan ringan maupun berat (QS al-Taubah [9]: 41). Bagi yang tidak mau berangkat, diancam dengan azab yang pedih (QS al-Taubah [9]: 39). Bahkan, perang yang diwajibkan itu bukan hanya ketika kaum Muslim diserang musuh (lihat QS al-Baqarah [2]: 190); namun juga bersifat ofensif, menyerang kaum kafir terlebih dahulu. Kaum Muslim diperintahkan memerangi kaum kafir hingga mereka bersedia membayar jizyah dan tunduk terhadap hukum Islam (lihat QS al-Taubah [9]: 29). Itu berarti, selama masih ada orang kafir yang tidak mau tunduk menjadi kafir dzimmi dan membayar jizyah, kewajiban memerangi mereka belum gugur. Perang tersebut terus dilakukan hingga tidak ada fitnah dan ketaatan hanya untuk Allah semata (lihat QS al-Baqarah [2]: 193). Semua dalil itu menunjuk-kan secara pasti wajibnya ber-perang fî sabîlil-Lâh.
Bertolak dari fakta tersebut, kata al-silm tidak bisa dimaknai al-musâlamah (perdamaian). Rasulullah SAW memang pernah melakukan perjanjian damai dengan kaum kafir. Akan tetapi, semua perjanjian dibatasi dengan waktu tertentu. Ketika masa perjanjian sudah habis, perang kembali diperintahkan. Ini makin mengokokan bahwa tidak ada perdamaian total dengan kaum kafir. Karena tidak bisa dimaknai al-musâlamah, maka kata al-silm tidak bisa dimaknai lain kecuali Islam.
Sedangkan makna kâffah menurut banyak mufassir sebagaimana dikutip Ibnu Katsir– adalah jamî’a[n] (semuanya, keseluruhan). Sehingga, ayat ini bermakna: Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang Mukmin, yang membenarkan rasul-Nya, untuk mengambil semua aspek Islam dan syariahnya, mengamalkan semua perintah-Nya, dan meninggalkan semua larangan-Nya, selama mereka mampu mengerjakannya. Demikian Ibnu Katsir dalam Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm. Tidak jauh berbeda, Fakhruddin al-Razi juga menjelaskan pengertian ayat ini: “Masukkah ke dalam seluruh sya-riah Islam, baik secara keyakinan maupun secara amalan.”
Pengertian tersebut makin jelas jika dikaitkan dengan sabab al-nuzûl (sebab turunnya) ayat ini. Dikemukakan oleh ‘Ikrimah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang Mus-lim yang sebelumnya beragama Yahudi, seperti Abdullah bin Salam, Tsa’labah, Asad bin ‘Ubaid, dll, yang meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk merayakan hari Sabtu dan mengamalkan Taurat di malam hari. Kemudian turunlah ayat ini yang memerintahkan mereka untuk mengamalkan syiar-syiar Islam dan meninggalkan selainnya. Namun Ibnu Katsir memberikan catatan, penyebutan Abdullah bin Salam perlu dicermati mengingat kesempurnaan imannya sehingga amat jauh jika dia menginginkan hal itu.
Jangan Ikuti Langkah Syetan
Setelah mereka diperintahkan masuk Islam secara keseluruhan, kemudian Allah SWT berfirman: walâ tattabi’û khuthuwât al-syaythân (dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan). Syetan adalah makhluk Allah SWT yang durhaka. Oleh karena itu, semua langkahnya mengundang murka Allah SWT. Jika Allah SWT memerintahkan manusia kepada kebaikan, syetan justru menyuruh berbuat dan keji (lihat al-Baqarah [2]: 169). Jika Allah SWT memerintahkan manusia mengucap-kan perkataan yang lebih baik, syetan justru menimbulkan perselisihan di antara manusia (lihat QS al-Isra’ [17]: 53). Minum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah juga disebut sebagai perbuatan syetan. De-ngan khamr dan judi itu pula syetan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara manusia (lihat QS al-Maidah [5]: 90-91). Agar tujuannya berhasil, syetan menghiasi perbuatan buruk sehingga terlihat baik oleh pelakunya (lihat QS al-Taubah [9]: 37, al-Ra’d [13]: 33). Pendek kata, semua perbuatan tercela yang dibenci dan dimurkai Allah terkumpul pada diri syetan.
Dalam ayat ini, manusia dingatkan agar tidak mengikuti langkah-langkah syetan. Al-Syaukani mengatakan, frasa ini berarti: “Janganlah kalian menempuh jalan yang diserukan oleh syetan.” Sedangkan al-Samar-qandi, menafsirkan mengikuti langkah syetan berarti taat kepada syetan.
Kemudian Allah SWT memberikan alasan larangan tersebut dengan firman-Nya: Innahu la-kum ‘aduww mubîn (sesung-guhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu). Sebagai musuh, syetan tidak suka melihat manusia bahagia. Sebaliknya, dia sangat senang jika manusia sengsara dan menderita. Syetan tahu benar, kesengsaraan dan penderitaan tiada tara adalah masuk neraka. Oleh karena itu, syetan melakukan berbagai cara dan upaya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar dan menjerumuskannya ke neraka. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (TQS al-Baqarah [2]: 169).
Oleh karena menjadi musuh apalagi musuh yang benar-benar nyata, maka syetan harus diperlakukan sebagaimana layaknya musuh, bukan sebagai kawan, sahabat, pemimpin, atau pelindung. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala (TQS Fathir [35]: 6). Agar memperoleh kebahagiaan hakiki, manusia tidak mengikuti jalan syetan. Islam adalah satu-satunya jalan yang boleh diikuti.
Telah maklum, bahwa syariah Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Tak hanya mengatur urusan individu, seperti ibadah, makanan, pakaian, atau akhlak. Namun juga mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti sistem ekonomi, pemerintahan, pendidikan, sanksi, politik luar negeri, dan lain-lain. Semua wajib diamalkan tanpa terkecuali. Nyatalah bahwa jika kita menghendaki masuk Islam secara kâffah, maka keberadaan Daulah Khilafah menjadi niscaya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

...:::: MASUKLAH ISLAM SECARA KAFFAH ::::...


"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu semuanya kedalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya dia itu musuh yang nyata bagimu."  (QS. al-Baqarah 2:208)

Ayat diatas merupakan seruan, perintah dan juga peringatan Allah yang ditujukan khusus kepada orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang mengakui Allah sebagai Tuhan satu-satunya dan juga mengakui Muhammad selaku nabi-Nya agar masuk kedalam agama Islam secara kaffah atau secara keseluruhan, benar-benar, sungguh-sungguh.

Pengalaman telah mengajarkan kepada kita, betapa banyaknya manusia-manusia yang mengaku telah beriman kepada Allah, mengaku meyakini apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan dia juga mengaku beragama Islam akan tetapi pada hakekatnya mereka tidaklah Islam.

Islam hanya dijadikan topeng, cuma sekedar pajangan didalam KTP yang sewaktu marak aksi demonstrasi dipergunakan sebagai tameng didalam menindas orang-orang yang lemah, melakukan aniaya terhadap golongan minoritas serta tidak jarang dijadikan sarana untuk menipu rakyat banyak.

Allah tidak menghendaki Islam yang demikian.Islam adalah agama kedamaian, agama yang mengajarkan Tauhid secara benar sebagaimana ajaran para Nabi dan Rasul serta agama yang memberikan rahmat kepada seluruh makhluk sebagai satu pegangan bagi manusia didalam menjalankan tugasnya selaku Khalifah dimuka bumi.

Dalam surah al-Baqarah 2:208 diatas, Allah memberikan sinyal kepada umat Islam agar mau melakukan intropeksi diri, sudahkah kita benar-benar beriman didalam Islam secara kaffah?

Allah memerintahkan kepada kita agar melakukan penyerahan diri secara sesungguhnya, lahir dan batin tanpa syarat hanya kepada-Nya tanpa diembel-embeli hal-hal yang bisa menyebabkan ketergelinciran kedalam kemusryikan.

Bagaimanakah jalan untuk mencapai Islam Kaffah itu sesungguhnya?

Al-Qur'an memberikan jawaban kepada kita :

"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling darinya, sedang kamu mendengar perintahNya."  (Qs. al-Anfaal 8:20)

Jadi Allah telah menyediakan sarana kepada kita untuk mencapai Islam yang kaffah adalah melalui ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya serta tidak berpaling dari garis yang sudah ditetapkan.

Taat kepada Allah dan Rasul ini memiliki aspek yang sangat luas, akan tetapi bila kita mengkaji al-Qur'an secara lebih mendalam lagi, kita akan mendapati satu intisari yang paling penting dari ketaatan terhadap Allah dan para utusan-Nya, yaitu melakukan Tauhid secara benar.

Tauhid adalah pengesaan kepada Allah. Seringkali manusia lalai akan hal ini, mereka lebih banyak berlaku sombong, berpikiran picik laksana Iblis, hanya menuntut haknya namun melupakan kewajibannya. Tidak ubahnya dengan orang kaya yang ingin rumahnya aman akan tetapi tidak pernah mau membayar uang untuk petugas keamanan.

Banyak manusia yang sudah melebihi Iblis. Iblis berlaku sombong dengan ketidak patuhannya untuk menghormati Adam selaku makhluk yang dijadikan dari dzat yang dianggapnya lebih rendah dari dzat yang merupakan sumber penciptaan dirinya.

Manusia, telah berani membuat Tuhan-tuhan lain sebagai tandingan Allah yang mereka sembah dan beberapa diantaranya mereka jadikan sebagai mediator untuk sampai kepada Allah. Ini adalah satu kesyirikan yang besar yang telah dilakukan terhadap Allah.

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan pendeta-pendeta mereka sebagai Tuhan-Tuhan selain Allah, juga terhadap al-Masih putera Maryam; padahal mereka tidak diperintahkan melainkan agar menyembah Tuhan Yang Satu; yang tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan."(QS. at-Taubah 9:31)

"Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa'atan, namun mereka berkata :

"Mereka itu penolong-penolong kami pada sisi Allah !" Katakanlah, "Apakah kamu mau menjelaskan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan dibumi ?". Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan." (QS. Yunus 10:18)

Bagaimana orang Islam dapat melakukan satu kesyirikan kepada Allah, yaitu satu perbuatan yang mustahil terjadi sebab dia senantiasa mentauhidkan Allah?

Sejarah mencatatkan kepada kita, berapa banyak orang-orang Muslim yang melakukan pemujaan dan pengkeramatan terhadap sesuatu hal yang sama sekali tidak ada dasar dan petunjuk yang diberikan oleh Nabi.

Dimulai dari pemberian sesajen kepada lautan, pemandian keris, peramalan nasib, pemakaian jimat, pengagungan kuburan, pengkeramatan terhadap seseorang dan seterusnya dan selanjutnya.

Inilah satu bentuk kesyirikan terselubung yang terjadi didalam diri dan tubuh kaum Muslimin kebanyakan.

Untuk itu, marilah sama-sama kita memulai hidup Islam yang kaffah sebagaimana yang sudah diajarkan oleh para Nabi dan Rasul, sekali kita bersyahadat didalam Tauhid, maka apapun yang terjadi sampai maut menjemput akan tetap Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang tiada memiliki anak dan sekutu-sekutu didalam zat maupun sifat-Nya.

Kembali kejalan Allah adalah satu hijrah yang sangat berat, godaan dan gangguan pasti datang menerpa kita dan disanalah kita dipesankan oleh Allah untuk melakukan jihad, melakukan satu perjuangan, melibatkan diri dalam konflik peperangan baik dengan harta maupun dengan jiwa.

Dengan harta mungkin kita harus siap apabila mendadak jatuh miskin atau juga melakukan kedermawanan dengan menyokong seluruh aktifitas kegiatan Muslim demi tegaknya panji-panji Allah; berjihad dengan jiwa artinya kita harus mempersiapkan mental dan phisik dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi akibat ketidak senangan sekelompok orang atau makhluk dengan hijrah yang telah kita lakukan ini.

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keadaan ridho dan di-ridhoi; Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS. al-Fajr 89:27-30)

apa itu iman dan islam ??

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan :
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : “Apa definisi Iman itu dan apa perbedaannya antara Iman dan Islam .?”

Jawaban :
Islam dalam pengertiannya secara umum adalah menghamba (beribadah) kepada Allah dengan cara menjalankan ibadah-ibadah yang disyari’atkan-Nya sebagaimana yang dibawa oleh para utusan-Nya sejak para rasul itu diutus hingga hari kiamat.
Ini mencakup apa yang dibawa oleh Nuh ‘Alaihis sallam berupa hidayah dan kebenaran, juga yang dibawa oleh Musa ‘Alaihis sallam, yang dibawa oleh Isa ‘Alaihis sallam dan juga mencakup apa yang dibawa oleh Ibrahim ‘Alaihis sallam, Imamul hunafa’ (pimpinan orang-orang yang lurus), sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam berbagai ayat-Nya yang menunjukkan bahwa syari’at-syari’at terdahulu seluruhnya adalah Islam kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Sedangkan Islam dalam pengertiannya secara khusus setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ajaran yang dibawa oleh beliau. Karena ajaran beliau menasakh (menghapus) seluruh ajaran yang sebelumnya, maka orang yang mengikutinya menjadi seorang muslim dan orang yang menyelisihinya bukan muslim karena ia tidak menyerahkan diri kepada Allah, akan tetapi kepada hawa nafsunya.
Orang-orang Yahudi adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Musa ‘Alaihis salllam, demikian juga orang-orang Nashrani adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Isa ‘Alaihis sallam. Namun ketika telah diutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia mengkufurinya, maka mereka bukan jadi orang muslim lagi.
Oleh karena itu tidak dibenarkan seseorang berkeyakinan bahwa agama yang dipeluk oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani sekarang ini sebagai agama yang benar dan diterima di sisi Allah sebagaimana Dienul Islam.
Bahkan orang yang berkeyakinan seperti itu berarti telah kafir dan keluar dari Dienul Islam, sebab Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Dien yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam”. [Ali-Imran : 19].
“Artinya : Barangsiapa mencari suatu dien selain Islam, maka tidak akan diterima (dien itu) daripadanya”. [Ali-Imran : 85]
Islam yang dimaksudkan adalah Islam yang dianugrahkan oleh Allah kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya. Allah berfirman.
“Artinya : Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepada nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai islam itu jadi agamamu”. [Al-Maidah : 3]
Ini adalah nash yang amat jelas yang menunjukkan bahwa selain umat ini, setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihis sallam, bukan pemeluk Islam. Oleh karena itu, agama yang mereka anut tidak akan diterima oleh Allah dan tidak akan memberi manfaat pada hari kiamat. Kita tidak boleh menilainya sebagai agama yang lurus. Salah besar orang yang menilai Yahudi dan Nashrani sebagai saudara, atau bahwa agama mereka pada hari ini sama pula seperti yang dianut oleh para pendahulu mereka.
Jika kita katakan bahwa Islam berarti menghamba diri kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan syari’at-Nya, maka dalam artian ini termasuk pula pasrah atau tunduk kepada-Nya secara zhahir maupun batin. Maka ia mencakup seluruh aspek ; aqidah, amalan maupun perkataan. Namun jika kata Islam itu disandingkan dengan Iman, maka Islam berarti amal-amal perbuatan yang zhahir berupa ucapan-ucapan lisan maupun perbuatan anggota badan. Sedangkan Iman adalah amalan batiniah yang berupa aqidah dan amal-amalan hati. Perbedaan istilah ini bisa kita lihat dalam firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Orang-orang Arab Badui itu berkata :’Kami telah beriman’. Katakanlah (kepada mereka) :’Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”. [Al-Hujurat : 14].
Mengenai kisah Nabi Luth, Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri”. [Adz-Dzariyat : 35-36].
Di sini terlihat perbedaan antara mukmin dan muslim. Rumah yang berada di negeri itu zhahirnya adalah rumah yang Islami, namun ternyata di dalamnya terdapat istri Luth yang menghianatinya dengan kekufurannya. Adapun siapa saja yang keluar dari negeri itu dan selamat, maka mereka itulah kaum beriman yang hakiki, karena keimanan telah benar-benar masuk kedalam hati mereka.
Perbedaan istilah ini juga bisa kita lihat lebih jelas lagi dalam hadits Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Jibril pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihis sallam mengenai Islam dan Iman. Maka beliau menjawab :”Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan berhaji ke Baitullah”. Mengenai Iman beliau menjawab :”Engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Utusan-utusan-Nya, hari Akhir, serta beriman dengan qadar yang baik dan yang buruk”.
Walhasil, pengertian Islam secara mutlak adalah mencakup seluruh aspek agama termasuk Iman. Namun jika istilah Islam itu disandingkan dengan Iman, maka Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan yang zhahir yang berupa perkataan lisan dan perbuatan anggota badan. Sedangkan Iman ditafsirkan dengan amalan-amalan batiniah berupa i’tiqad-i’tiqad dan amalan hati.
[Disalin dari kitab Fatawa Anil Iman wa Arkaniha, yang di susun oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud, edisi Indonesia Soal-Jawab Masalah Iman dan Tauhid, hal 50-52 Pustaka At-Tibyan]