Sabtu, 06 Agustus 2011

Andai Ku Menjadi Penghafal Al-Qur’an

Sebuah pesantren milik Yayasan Ibnu Siena Tangerang. Banyak santri-santri yang mempunyai kelebihan dalam menghapal Al-Qur’an. Terutama 30 Juz, semuanya dihapal dengan cara setiap pagi dan petang. Para santri itu kebanyakan dari luar Pulau Jawa, bahkan dari Luar Negeripun ada. Namun, biaya dipesantren tersebut sangat mahal, bila dihitung kira-kira Rp 1 juta perbulan.


“Aku ingin tinggal dipesantren itu, seandainya aku bisa bersekolah disana...” Shafira, gadis kecil berumur dua belas tahun sedang memerhatikan bangunan pesantren itu. 
“Kamu mau? Bilang aja ke mamamu.. sekarang kan kamu mau menginjak SMP.” Temannya berusaha untuk menyenangkan hatinya. 
“Tapi, mama dan papaku sudah tiada, sebenarnya dulu ketika mamaku masih hidup, ia ingin aku bersekolah disana.. Dengan sekuat tenaga mamaku mencari uang untuk membekalkan aku hidup dipesantren ini.. Tapi, Allah berkehendak lain.. Keinginan mamaku belum tercapai”. Shafira mengingat kenangan mamanya ketika ia sedang duduk di bangku kelas 5 SD. 
“Innalillahi.. Maaf ya Shafira, aku tak tahu bahwa orang tuamu sudah tiada, tapi kamu harus menjalankan keinginan mamamu.. Ayo! Semangat sahabatku..” Nabila berusaha untuk menyenangkan hatinya yang sedang galau. 
“Iya makasih yaa sahabatku..” Shafira akhirnya tersenyum kembali. Jalan berdua ditengah terik panasnya raja siang. 
“Oh ya, terus sekarang kamu tinggal bersama siapa?” Tanya Nabila. 
“Aku sekarang tinggal bersama paman dan bibiku. Pamanku sangat sayang padaku, seperti anaknya sendiri.. Tapi bibiku, selalu membiarkanku sedih dan selalu menyuruhku seperti pembantu”. 
Saat mendengarkan cerita Shafira, Nabila tersentuh dengan ceritanya. memelas kasihan.
“Sabar ya Fir.. Allah sedang mengujimu untuk terus berusaha dan tidak pernah putus asa. Aku akan mendukungmu kawan!” Memberikan senyuman kepada Shafira. 
“Yaa, makasih juga kawan, kau sudah membuatku semangat untuk menjalani hidup ini.. Terima kasih Ya Allah..” terharu.
Setelah mereka berjalan melewati pesantren itu, mereka kembali menuju rumahnya masing-masing. 
“Aku pulang duluan ya Fir.. Semoga kau baik-baik aja dengan pamanmu..” 
“Iya, sekali lagi makasih ya.. Amin.. Hati-hati ya..” Sambil membelokkan sepedanya ke arah rumahnya. 

Dirumah, Shafira langsung menuju kamarnya. Tiba-tiba bibinya datang dan menyuruhnya membeli makanan untuk makan siangnya. 
“Fir.. beliin bibi lauk pauk buat nanti makan siang”. Baru saja Shafira datang ke rumah, sudah disuruh pergi lagi keluar. 
Nasib Shafira kian penuh dengan cobaan. Dengan kesabarannya yang tinggi, hingga mengikhlaskan semuanya. 
“Ya Allah, sampai kapan aku terus begini? Padahal aku kesini hanya ingin bersekolah di Pesantren Ibnu Siena itu” Hati kecilnya bicara. 
Sebenarnya, Shafira tinggal di Bogor. Tetapi karena Shafira ditinggal ayahnya, ia langsung diasuh oleh pamannya. Tujuannya Shafira hanya ingin bersekolah di Pesantren itu. Karena ia bercita-cita ingin keluar negeri dan melanjutkan kuliah disana. 
“Aku ingin kuliah di Mesir” Tekadnya.
Pulang dari warung, Shafira ingin membujuk bibi dan paman untuk menyekolahkan dia sampai dia tamat SMA. Tapi dia sepertinya tidak berani untuk mengungkapkannya kepada bibi, karena dia hanya menumpang dirumah ini. Justru ia harus berterima kasih. Akhirnya didalam hatinya bangkit untuk mengungkapkan apa yang ingin dia katakan. Walaupun sedikit canggung untuk mengungkapkannya.  
“Bi, boleh ga aku tinggal dipesantren? Yang didekat rumah ini?” Mulutnya bergetar.
“Memangnya kau sanggup untuk membayar Rp 1 juta sebulan?” Shafira tersinggung. 
“Bi, tapi aku ingin seperti mereka yang bisa menghapal Al-Qur’an dalam 30 Juz. Hebat banget kan?” tak kalah untuk mengucapkan kembali. 
Bibinya sangat cuek dan tertawa seakan menghinanya. 
“Ehmmm, memangnya nyari uang itu gampang ya, sampai Rp 1 juta sebulan?  Mendingan kamu mengaji tiap habis maghrib aja disana. Kalo itu baru gratis.” Lalu diam sejenak dan mengucapkan kata-kata yang tidak menyenangkan hati, bahkan membuat hati Shafira panas. 
“Ya Allah, memang benar apa yang diucapkan bibi, aku memang ga punya uang sedikitpun, malah aku dibekali oleh bibi untuk kehidupan sehari-hari”. Pasrah didalam hatinya melihat keadaan ini.
Walaupun akhirnya Shafira hanya diizinkan pada waktu ba’da maghrib, ia tetap senang dan bersyukur, karena ia masih bisa mengaji dipesantren itu. 
“Aku ingin mencari ilmu, gak apa-apa deh hanya mengaji ba’da maghrib aja dan aku ingin benar-benar bisa menghapal isi ayat Al-Qur’an itu”.

Setiap harinya Shafira tetap setia pergi ke pesantren itu, meski hanya ba’da maghrib saja. Shafira tetap bertekad ingin benar-benar belajar. Tetapi, yang menjadi masalahnya, Shafira selalu diperlakukan seperti pembantu di rumah bibinya. Shafira ingin bertahan walau sakit itu terus ada dibenaknya demi belajar menghapal Al-Qur’an.   

Paman selalu pulang malam, jadi tak heran kalau Shafira benar-benar baik-baik saja bersama bibinya. Padahal sangat fatal atas perlakuan bibinya terhadap Shafira pada siang hari. Dan betapa sedihnya Shafira pada waktu itu. Paman selalu membela ia, sedangkan bibinya sangat membencinya. Meskipun bibinya adalah bibi yang baik, tetapi bibinya selalu memarahi dia ketika dia melakukan kesalahan walau sedikit. Shafira ingin tinggal dipesantren itu, tapi bibi menolaknya. Akhirnya Shafira memutuskan untuk kabur dari rumah pamannya, dan pergi kembali ke Bogor.

Ketika pamannya mengetahui Shafira kabur dari rumahnya, pamannya segera menyusulnya ke Bogor. Tiba di Bogor, ternyata Shafira sudah pergi ke Kuningan untuk mencari pekerjaan. Pamannya sangat terlambat untuk membujuknya supaya tetap tinggal dirumahnya. 
“Apa salahku sehingga dia pergi dari rumah tanpa sepengetahuanku?” Sambil terisak-isak pamannya mengeluarkan air mata dan merasa bersalah. 
“Tidak apa-apa, dia hanya ingin mencari pekerjaan agar mendapat uang untuk bekalnya”. Ujar tetangganya. 
“Memangnya sebenarnya Shafita mau pergi kemana?” Tanya paman menahan tangisnya. 
“Shafira ingin bersekolah di Pondok Pesantren Ibnu Siena. Karena ia ingin menghapal Al-Qur’an agar ia bisa lanjut study ke Mesir. Tapi ia tidak punya apa-apa”. Dengan hati yang penuh rendah diri, tetangga yang dibelakang rumah Shafira itu. 
Selesai perbincangan antara tetangga Shafira dengan pamannya. Tak lama kemudian mereka pergi kerumahnya dengan rasa bersalah dan bibinya tenang-tenang saja bahkan tidak merasakan apapun (kejam).
   
Paman Shafira tiba-tiba berfikir atas apa yang diinginkan Shafira. 
“Kenapa ia tidak bicara denganku kalau ia ingin pesantren?” bertanya pada hati. 
Pada waktu itu, paman segera  mencari-cari Shafira ke Kuningan. 
“Tenang Shafira, paman akan membantumu agar kau bisa menggapai cita-citamu study ke Mesir. Tapi kamu masih terlalu kecil untuk bekerja. Usiamu pantas untuk belajar, bukan bekerja”. Ujarnya dalam hati.
Paman terus mencari Shafira tanpa lelah. Seharian paman mencari keberadaan Shafira dilingkungan Kuningan. Allah belum memberinya petunjuk. Tapi paman tak berputus asa untuk mencarinya. 
“Shafira, kemana kau pergi? Kau sudah kuanggap sebagai anakku sendiri..” Paman selalu mengingatnya dan tubuhnya mulai melemah.

Ketika paman jatuh pingsan dan lemah jantungnyapun kambuh, ia dibawa ke rumah sakit terdekat. Sampai 5 jam ia belum sadar juga. Beberapa menit kemudian, ia siuman dan kondisi badan belum stabil. Paman ingin bertemu dengan Shafira sebelum ia meninggalkannya. Saat itu, pamannya menelepon Polisi untuk mencari Shafira. Sudah sehari Shafira belum ditemukan juga. Paman makin hawatir akan keberadaannya. Tapi, paman Shafira tak lelah berdoa kepada Sang Khaliq untuk memberikan petunjuk kepada Shafira.
Paman masih berada di rumah sakit, sudah dua hari paman tinggal dirumah sakit itu. Dan Polisi terus mencari Shafira. Saatnya tiba! Shafira sudah ditemukan. Polisi memintanya untuk segera kerumah sakit secepatnya. Akhirnya Shafira menyetujuinya. Shafira bergegas menemui pamannya. Paman berada dikamar ICU, paman sangat senang bertemu dengan Shafira untuk terakhir kalinya. 
“Paman senang bertemu denganmu.. Paman mencarimu kemana-mana dan akhirnya paman jatuh pingsan dan dibawa ke rumah sakit ini..” Ujar pamannya. 
Shafira sangat menyesal akan keberadaannya yang mencari kerja untuk menghidupi dirinya sendiri. 
“Paman, maafkan Fira telah merepotkan paman.. Tapi Shafira ingin mempunyai biaya agar bisa sekolah disana..” Terbaring disamping pamannya. 
“Fira, paman ga tega ngeliat kamu seperti ini.. Cita-cita masih bisa digapai, dan waktumu adalah belajar, bukan mencari uang..” Paman sambil batuk-batuk dan kian melemah. 
Karena ia tidak ingin mengecewakan semuanya, Shafira tetap tegar menghadapinya. 
“Hmmm...” Sambil mengangguk-ngangguk Shafira memberikan senyuman. 
Paman menatap Shafira dengan rasa yang ingin dikenangnya. Senyuman terakhirnya merasa Shafira akan ditinggalkan oleh paman kesayangannya itu. Lalu, pamannya berbisik kepadanya dan membawa sesuatu dari tasnya, 
“Fir.. Ini ada kartu ATM milik paman, passwordnya adalah 1122334455. Jika kamu memang benar-benar ingin bersekolah disana, ambillah ATM ini. Disitu ada uang banyak hasil tabungan paman. Semoga bermanfaat untuk bekal kamu dan jangan sampai dihabiskan untuk berfoya-foya. Kelak, jika kau sudah beranjak kuliah, uang dari ATM ini masih ada untuk membayar kuliahmu. Nanti saat kau lulus kuliah, kamu mencari kerja dan akhirnya kau mempunyai uang sendiri. Maafkan paman jika ini saatnya paman harus pergi.” Sesudah panjang lebar ia mengatakannya, matanya selalu berkaca-kaca. 
“Paman, Aku tidak tahu harus bagaimana untuk membalas kebaikanmu. Aku kan selalu berdoa untuk paman. Terimakasih paman, hatimu bagai malaikat penolong.” Shafira tak bisa menahan air matanya yang jatuh ke lantai. 
“Laailaahailallah.. Muhammadarrasulullah...” Kalimat yang diucapkan oleh paman itu, akhirnya bisa terbawa dalam penutup kehidupan dunia. 

Paman yang shaleh, selalu berbuat kebaikan di dunia. Akhirnya meninggal dengan tenang. Dan Shafira, bisa melanjutkan study di Ibnu Siena. Alhasil, Shafira menjadi seorang perempuan yang kuat dan selalu berjuang untuk dirinya dan belajar hanya karena Allah SWT.
                                                  “THE END”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar