Kamis, 04 Agustus 2011

hal hal yag di anggap membatalkan puasa

Hal-Hal yg Dianggap Membatalkan Puasa
penulis Al-Ustadz Saifudin Zuhri Lc.
Syariah Kajian Khusus Ramadhan 14 - September - 2005 04:48:27
Ada sejumlah persoalan yg sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antara memang ada yg menjadi permasalahan yg diperselisihkan di antara para ulama namun ada pula hanya sekedar anggapan yg berlebih-lebihan dan tdk dibangun di atas dalil.
Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yg oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguh tdk demikian. Keterangan-keterangan yg dibawakan nanti sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yg berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.
Di antara faidah yg bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1. Bahwa orang yg melakukan pembatal-pembatal puasa dlm keadaan lupa dipaksa dan tdk tahu dari sisi hukum mk tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yg tdk tahu dari sisi waktu seperti orang yg menjalankan sahur setelah terbit fajar dlm keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t
setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa namun tdk merusak kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukum ingat dan bermaksud melakukan .” Kemudian beliau t
membawakan beberapa dalil di antara hadits yg menjelaskan bahwa Allah k
telah mengabulkan doa yg tersebut dlm firman-Nya:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah .”
.
Begitu pula ayat ke-106 di dlm surat An-Nahl yg menjelaskan tdk berlaku hukum kekafiran terhadap orang yg melakukan kekafiran krn dipaksa. mk hal ini tentu lbh berlaku pada permasalahan yg berhubungan dgn pembatal-pembatal puasa.
Dan yg dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin t
adl apabila orang tersebut benar-benar tdk tahu dan bukan orang yg tdk mau tahu wallahu a’lam. Sehingga orang yg merasa diri teledor atau lalai krn tdk mau berta tentu yg lbh selamat bagi adl mengganti puasa atau ditambah dgn membayar kaffarah bagi yg terkena kewajiban tersebut.
2. Orang yg muntah bukan krn keinginan tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dlm hadits:
مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barang siapa yg muntah krn tdk disengaja mk tdk ada kewajiban bagi dia utk mengganti puasanya. Dan barang siapa yg muntah dgn sengaja mk wajib bagi utk mengganti puasanya.”
Oleh krn itu orang yg merasa mual ketika dia menjalankan puasa sebaik tdk berusaha memuntahkan apa yg ada dlm perut dgn sengaja krn hal ini akan membatalkan puasanya. Dan jangan pula dia menahan muntah krn inipun akan berakibat negatif bagi dirinya. mk biarkan muntahan itu keluar dgn sendiri krn hal tersebut tdk membatalkan puasa.
3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz t
:
“Tidak mengapa utk menelan ludah dan saya tdk melihat ada perselisihan ulama dlm hal ini krn hal ini tdk mungkin utk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak mk wajib utk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tdk boleh bagi orang yg berpuasa utk menelan krn hal itu memungkinkan utk dilakukan dan tdk sama dgn ludah.”
4. Keluar darah bukan krn keinginan seperti luka atau krn keinginan namun dlm jumlah yg sedikit tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin t
dalam beberapa fatwanya:
a. “Keluar darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darah tdk ditelan”.
b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yg berpuasa yaitu pengambilan darah utk diperiksa jenis golongan darah dan dilakukan krn keinginan mk tdk apa-apa”.
c. “Pengambilan darah dlm jumlah yg banyak apabila berakibat dgn akibat yg sama dgn melakukan berbekam seperti menyebabkan lemah badan dan membutuhkan zat makanan mk hukum sama dgn berbekam ” .
Maka orang yg keluar darah akibat luka di gigi baik krn dicabut atau krn terluka gigi tidaklah batal puasanya. Namun dia tdk boleh menelan darah yg keluar itu dgn sengaja. Begitu pula orang yg dikeluarkan sedikit darah utk diperiksa golongan darah tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yg dikeluarkan dlm jumlah yg banyak sehingga membuat badan lemah mk hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yg berbekam .
Meskipun terjadi perbedaan pendapat yg cukup kuat dlm masalah ini namun yg menenangkan tentu adl keluar dari perbedaan pendapat. mk bagi orang yg ingin melakukan donor darah sebaik dilakukan di malam hari krn pada umum darah yg dikeluarkan jumlah besar. Kecuali dlm keadaan yg sangat dibutuhkan mk dia boleh melakukan di siang hari dan yg lbh hati-hati adl agar dia mengganti puasa di luar bulan Ramadhan.
5. Pengobatan yg dilakukan melalui suntik tidaklah membatalkan puasa krn obat suntik tdk tergolong makanan atau minuman. Berbeda hal dgn infus mk hal itu membatalkan puasa krn dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung ataukah bukan. Namun wallahu a’lam yg benar adl bahwa kedua bukanlah saluran yg akan mengalirkan obat ke kerongkongan. mk obat yg diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yg merasakan masuk obat ke kerongkongan tdk mengapa bagi utk mengganti puasa agar keluar dari perselisihan.
6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tdk sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluar madzi. Rasulullah n
bersabda dlm sebuah hadits shahih yg artinya:
“Dahulu Rasulullah n
mencium dlm keadaan beliau berpuasa dan memeluk dlm keadaan beliau puasa akan tetapi beliau adl orang yg paling mampu menahan syahwat di antara kalian.”
Akan tetapi bagi orang yg khawatir akan keluar mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ krn syahwat yg kuat mk yg terbaik bagi adl menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah n
bersabda:
.. يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي ..
“ meninggalkan syahwat dan makan krn Aku.”
Dan juga beliau n
bersabda:
دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ
“Tinggalkan hal-hal yg meragukan kepada yg tdk meragukan.”
7. Bagi laki2 yg sedang berpuasa diperbolehkan utk keluar rumah dgn memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisal mk tdk boleh utk menghirup atau menghisapnya. Juga diperbolehkan bagi utk menggosok gigi dgn pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tdk ada yg tertelan ke dlm tenggorokan sebagaimana diperbolehkan bagi diri utk berkumur dan memasukkan air ke hidung dgn tdk terlalu kuat agar tdk ada air yg tertelan atau terhisap. Namun seandai ada yg tertelan atau terhisap dgn tdk sengaja mk tdk membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dlm hadits:
“Bersungguh-sungguhlah dlm istinsyaq kecuali jika engkau sedang berpuasa .”
8. Diperbolehkan bagi orang yg berpuasa utk menyiram kepala dan badan dgn air utk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula utk berenang di air dgn selalu menjaga agar tdk ada air yg tertelan ke tenggorokan.
9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa dgn menjaga jangan sampai ada yg masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas c
dalam sebuah atsar:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ
“Tidak apa-apa bagi seseorang utk mencicipi cuka dan lain yg dia akan membelinya.”
Demikian beberapa hal yg bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi tiap muslim adl meyakini bahwa Rasulullah n
tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yg ada dlm syariat Islam ini. mk kita tdk boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tdk dgn perasaan semata. Bahkan harus mengembalikan kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar